KOMPAS.com - “Terjadilah kekosongan kepemimpinan yang mencapai puncaknya pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno secara mendadak meninggalkan Sidang Kabinet yang dipimpinnya, yang menunjukkan kepanikan kepemimpinan waktu itu. Keadaan demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan merobek-robek tubuh bangsa kita sendiri, lebih memburukkan keadaaan ekonomi yang memang telah parah, makin membenamkan rakyat ke dalam kesengsaraan.”
Demikian salah satu pernyataan Soeharto, Presiden kedua RI, pada 5 tahun lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Pernyataan itu dikeluarkannya pada Rabu, 10 Maret 1971.
Secara panjang lebar, Soeharto menjelaskan lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) versinya, untuk menjawab berbagai rumor dan tudingan yang diarahkan kepadanya terkait isi surat tersebut.
Harian Kompas, 11 Maret 1971, memberitakan, bagi Soeharto, keberadaan Supersemar untuk mengembalikan kewibawaan negara dan sebagai legitimasi untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). (Baca: Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"?)
Ia menyebutkan, tindakan yang dilakukannya untuk menjalankan perintah Supersemar dan mengatasi keadaan politik yang memburuk saat itu.
Soeharto mengungkapkan, selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ia merasa harus mengambil keputusan dengan segera dan harus dipertanggungjawabkan.
“Sebagai seorang pejuang, saya harus berani mengambil risiko, betapapun besar risiko itu bagi diri pribadi saya. Putusan yang harus saya ambil adalah menyelamatkan bangsa dan negara, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” kata Soeharto.
Soeharto mengatakan, pada 11 Maret 1966, ia mengutus tiga pimpinan Angkatan Darat untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Ketiga jenderal itu adalah Mayor Jenderal TNI Basoeki Rachmat, Mayor Jenderal TNI M Jusuf, dan Mayor Jenderal TNI Amirmachmud.
Menurut Soeharto, ketiga jenderal yang diutusnya membawa pesan untuk disampaikan kepada Soekarno. (Baca: Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar?)
“Saya menyampaikan kesanggupan saya selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, untuk mengatasi keadaan apabila Presiden Soekarno memberikan tugas dan kepercayaan penuh kepada saya,” ujarnya.
Ia mengklaim, pernyataan kesanggupan inilah yang menjadi dasar terbitnya Supersemar oleh Presiden Soekarno.
Dua tindakan penting
Dengan "Surat Perintah 11 Maret" itu, menurut Soeharto, ia melakukan dua tindakan penting. Dua tindakan itu adalah, pertama, membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kedua, mengamankan sejumlah menteri.