Naskah tersebut dibuka seluas-luasnya kepada publik untuk menerima segala masukan.
"Pengalaman saya di Komisi III, seyogyanya sebelum rapat paripurna, Dewan membuka ruang seluas-luasnya kepada publik, akademisi, tokoh masyarakat dan aktivis antikorupsi untuk diminta pendapatnya. Mendengar apa yang diinginkan oleh mereka," kata Didi ketika ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/2/2016).
Ia menanggapi belum jelaskan draf naskah akademik revisi UU KPK yang kini tengah dibahas DPR.
Demokrat memilih menolak melakukan revisi atas UU tersebut.
Didi mengatakan, sebaiknya DPR tidak perlu terburu-buru untuk mengambil keputusan karena proses mendengar pendapat masyarakat itu membutuhkan waktu yang sangat panjang.
"DPR tidak boleh tergesa-gesa. Kalau penguatan tentu kami mendukung revisi, tapi kalau melemahkan kami akan tolak," kata dia.
Belum terima naskah akademik
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukrianto mengaku, hingga saat ini belum menerima naskah akademik revisi UU KPK.
Ia sudah mencoba memintanya ke Badan Legislasi DPR.
"Kami sudah mencoba meminta naskah akademik pada hari Rabu (10 Februari 2016) lalu. Namun kami belum memperolehnya sampai saat ini. Saya belum bisa mendapatkan jawaban yang pasti dari Baleg," ujar Didik.
Didik mengatakan, naskah akademik seharusnya terbuka untuk masyarakat.
DPR wajib menampung semua masukan yang berasal dari akademisi, tokoh publik, dan pegiat antikorupsi.
"Harusnya naskah akademik dan draf RUU-nya sudah diberikan jauh-jauh hari. Kemudian DPR akan meminta usulan melalui seminar dan diskusi publik agar komprehensif. Makanya naskah akademik itu harus terbuka untuk publik agar bisa menyerap seluruh masukan," papar Didik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.