MK menurunkan ketentuan tersebut dalam Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dan Perselisihan Hasil Pilkada.
Dalam aturan tersebut, Titi memaparkan, salah kaprah terlihat pada Pasal 6 ayat (3) yang menjelaskan bahwa persentase selisih suara dihitung dari suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara.
"Rumusan matematika yang keliru dibuat oleh MK dan dituangkan di dalam PMK No 5/2015 telah nyata membuat syarat selisih suara jauh lebih besar dari syarat selisih suara sebenarnya," jelas Titi melalui keterangan tertulisnya, Jumat (1/1/2016).
Menurut dia, selisih suara harus dilihat dari jumlah suara sah pada suatu daerah yang melaksanakan pemilihan. Kemudian, barulah dilihat total suara dari pemenang pemilu.
"Total suara yang diraih oleh pemenang pemilihan ini kemudian dipersentasekan dari total suara sah di daerah pemilihan tersebut," kata Titi.
Langkah yang sama, menurut Titi, dilakukan terhadap peraih suara peringkat kedua. Selisih persentase antara pemenang pemilu dengan yang peserta pemilihan peringkat kedua dan seterusnya inilah kemudian yang menjadi pedoman, apakah yang bersangkutan memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan atau tidak.
"Mengecam langkah MK yang membuat persyaratan selisih suara dalam pengajuan permohonan sengketa hasil pilkada, keluar dari perintah dan maksud UU 8/2015," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.