"Ini semakin membuktikan apa yang kami suarakan selama ini, terjadi salah tata kelola di Pelindo II benar adanya," ujar Firmansyah saat dihubungi, Sabtu (19/12/2015).
Firmansyah menilai, proses pengadaan Quay Container Crane di Pelindo II memang tidak transparan. Ternyata, kata Firmansyah, Lino telah menunjuk langsung HDHM dari Cina dalam pengadaan sejumlah QCC.
"Karena kalau kita lihat ini jaringannya jaringan China semua. Dalam setiap pengadaan, China connection-nya sangat kuat," kata Firmansyah.
Firmansyah menganggap Lino tidak bermain sendiri dalam kasus ini. Oleh karena itu, ia meminta KPK untuk mengusut tuntas dan menjerat pihak lain yang diduga terlibat dalam pengadaan QCC di Pelindo II.
"Kami dorong penegak hukum untuk menindaklanjuti pada semua. Kalau memang ada keterlibatan yang lebih tinggi, ya harus ditegakkan, apapun jabatannya," kata Firmansyah.
Penyelidikan dibuka atas pengaduan Serikat Pekerja Pelindo II terhadap manajemen Pelindo kepada KPK.
Serikat Pekerja melaporkan sejumlah hal, di antaranya pengadaan QCC untuk Pelabuhan Tanjung Priok yang dialihkan ke Pelabuhan Palembang dan Pontianak, penggunaan tenaga ahli dan konsultan yang dianggap tidak sesuai prosedur, megaproyek Kalibaru, pemilihan perusahaan bongkar muat di Tanjung Priok, serta berkaitan dengan perpanjangan kontrak perjanjian Jakarta International Container Terminal (JICT).
Dalam kasus ini, Lino diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung HDHM dari China dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II pada tahun 2010. Proyek pengadaan QCC ini bernilai Rp 100-an miliar.
Pengadaan QCC tahun 2010 diadakan di Pontianak, Palembang, dan Lampung.
Namun, KPK belum dapat menaksir berapa kerugian negara yang ditimbulkan akibat kasus ini.
Atas perbuatannya, Lino dijerat Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.