Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Memang DPR Bisa Jamin dalam 12 Tahun Tidak Ada Lagi Korupsi?"

Kompas.com - 10/10/2015, 05:31 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dikeluarkan DPR menimbulkan keresahan di masyarakat. Dikhawatirkan, lembaga antirasuah tersebut akan mengalami pelemahan jika revisi tersebut nantinya disetujui.

Seorang warga asal Bandung, Hani, meyakini peraturan tersebut sangat berpotensi melemahkan, bahkan mematikan KPK. Ini terlihat mulai dari mengganti "pemberantasan" menjadi "pencegahan" dan membatasi masa kerja KPK hanya 12 tahun.

"Tidak masuk akal. Korupsi memang harus diberantas dan KPK harus terus ada selama republik ini berdiri. Memang DPR bisa jamin dalam 12 tahun tidak akan ada lagi kasus korupsi baru dan semua kasus yg udah ada bisa terselesaikan?" kata Hani, saat dijumpai, Jumat (9/10/2015).

Ia juga menyayangkan adanya pelarangan bagi KPK untuk menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp 50 miliar. Aturan tersebut, menurut dia, bertentangan dengan kampanye "pemberantasan korupsi dari yang terkecil", dalam hal ini yaitu pelaporan di tingkat daerah.

Hani menilai peraturan dalam draf revisi tersebut mengesankan redupnya gerakan anti korupsi di masyarakat. Poin revisi yang menjelaskan bahwa KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum juga ia nilai sebagai aturan tak masuk akal. "Seolah para aparat penegak hukum punya keleluasaan bergerak tanpa kontrol," ujar dia.

Komentar senada disampaikan seorang warga Bogor, Hafiz. Menurut dia, meski sejumlah pihak mengklaim akan membuat kinerja KPK lebih optimal dengan merevisi UU tersebut, tapi ia masih belum memahami dimana poin yang dimaksud dapat mengoptimalkan kinerja KPK. Ia masih berasumsi revisi tersebut justru membatasi gerak KPK dan merusak semangat pemberantasan korupsi.

"Kurang masuk akal kalau alasan membatasi masa kerja KPK 12 tahun adalah supaya lebih semangat menyelesaikan tugas. Yang ada malah tidak maksimal karena diberi tenggat waktu," ujar Hafiz.

Sementara itu, Aulia, warga asal Kebon Jeruk, Jakarta, menilai revisi UU KPK tersebut perlu dilakukan, dengan catatan tidak menghilangkan fungsi penuntutan. Menurut dia, KPK tidak bisa hanya bisa dibiarkan bergerak dengan fungsi pencegahan saja. Selain itu, menurut dia, KPK juga perlu dikawal agar tidak kebablasan dalam menggunakan wewenangnya dan bebas dari nuansa politis. 

"Tahu sendiri, sistem birokrasi kita. Semakin kewenangannya terpisah, semakin lama pula penanganannya hingga tuntas," kata Aulia.

Aulia juga mempertanyakam motif dari para pengusul revisi UU KPK mengusulkan draf revisi tersebut. Mengingat banyak kolega mereka yang diseret ke penjara karena kasus korupsi. Meski begitu, ia menganggap istilah "memperkuat" atau "melemahkan" KPK tidak perlu diributkan karena yang terpenting adalah substansi agar KPK dapat bekerja secara optimal.

"Ini harus dipikirkan dua pihak baik yang pro atau kontra. Harus ada win-win solution," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri Lanjutkan Tugas Satgas Pengamanan untuk Prabowo

Polri Lanjutkan Tugas Satgas Pengamanan untuk Prabowo

Nasional
Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Menhan AS Telepon Prabowo Usai Penetapan KPU, Sampaikan Pesan Biden dan Apresiasi Bantuan Udara di Gaza

Nasional
Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Terima Nasdem, Prabowo: Surya Paloh Termasuk yang Paling Pertama Beri Selamat

Nasional
Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Partai Pendukung Prabowo-Gibran Syukuran Mei 2024, Nasdem dan PKB Diundang

Nasional
MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

Nasional
Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Nasional
Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com