Manajemen komunikasi
Akan tetapi, itu pandangan lama, yang kini sudah tak banyak dianut. Pendapat itu, dan praktik pengelolaan yang demikian, sebenarnya tak punya dasar kuat. Meski (memang) keadaan seperti itu sering berakhir dengan tragedi, sejumlah riset (sebagaimana dikemukakan The Economist beberapa tahun silam) menyimpulkan, dalam situasi amat terdesak justru kelompok individu akan memiliki potensi lebih besar untuk menahan diri dan bersikap fleksibel (atau resilient) saat berada dalam kerumunan ketimbang saat mereka sendirian.
Secara psikologis, situasi terdesak dalam kesesakan sebenarnya dapat menciptakan semangat kebersamaan, yang pada gilirannya bisa mengarahkan mereka saling berkoordinasi, santun, dan kooperatif. Dari studi perilaku para penyintas saat kegawatdaruratan, seperti saat terjadi bom di London (7/7/2005), makin banyak orang mendapati dirinya sama-sama berada dalam sebuah kerumunan kian besar kemungkinan menjunjung norma sosial, seperti mengatur diri dalam antrean. Masalahnya, bagaimana pengelola memfasilitasi koordinasi dan sikap kooperatif di tengah kerumunan sehingga bisa menyelesaikan situasi sulit itu.
Psikologi modern mengajarkan bahwa menyesuaikan diri pada pergerakan sejumlah besar orang melalui suatu alur (jalan) yang amat sibuk dan padat bukanlah sekadar memimpin barisan kerumunan. Di sini komunikasi menjadi kuncinya. Karena itu, akses terhadap informasi yang sesuai dan benar, disebarkan dengan cara yang sesuai, pada saat yang tepat, bisa membantu koordinasi yang baik dan (bila diperlukan) jalan untuk evakuasi kegawatan yang efektif.
Kita tak tahu bagaimana Pemerintah Arab Saudi mengelola akses informasi itu, dan bagaimana koordinasi dilaksanakan ketika terjadi penumpukan orang di Jalan 204. Juga belum jelas bagaimana rencana evakuasi (kalau ada) disebarluaskan kepada para pemangku kepentingan saat musim haji berlangsung. Yang jelas, tidak adanya informasi menciptakan frustrasi dan bahkan kecemasan.
Bagaimanapun, krisis Mina telah terjadi. Repotnya, sering terjadi dalam banyak krisis, pihak yang bertanggung jawab lebih suka membela diri ketimbang berusaha bersikap terbuka dan jujur. Seperti dikatakan Caywood dan Englehart (2007), banyak bukti dari berbagai krisis di Amerika pengelola lembaga (atau perusahaan) sering mengulangi tiga kesalahan fatal. Pertama, gagal menengarai bahwa bibit krisis itu mengintip sejak jauh hari. Kedua, sejak awal tak memperhitungkan cermat betapa besar biaya yang akan muncul bila terjadi krisis. Ketiga, mereka lazimnya memilih membela diri ketimbang membela brand atau reputasi lembaga (negara)-nya. Untuk yang terakhir, kita bertanya: apakah penguasa Mina masih peduli pada reputasi negerinya?
Syafiq Basri Assegaff
Pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of PR, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Komunikasi Krisis Mina".