JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Tanggap Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Junjung Tambunan menyebutkan, ada beberapa kepala daerah yang dinilai lamban dalam merespons tanggap bencana kebakaran hutan di sejumlah wilayah Indonesia.
"Ada yang terlambat, seperti Kalimantan Selatan, itu sangat terlambat membuat suatu penetapan darurat itu baru 10 hari lalu. Jambi juga demikian, baru 13 hari lalu," ujar Junjung dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (10/9/2015).
Menurut Junjung, sikap tersebut membuat BNPB tidak bisa melakukan penindakan cepat tanggap bencana kebakaran hutan dalam hal dukungan personel, peralatan serta kebutuhan bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhan daerah yang terkena dampak kebakaran hutan tersebut. Seharusnya, setiap kepala daerah yang mengalami segala jenis bencana memiliki tanggung jawab dalam memberikan respons cepat baik ke gubernur maupun ke pemerintah pusat.
"Ketika itu tidak dapat dilakukan, daerah itu sendiri kena dampaknya, karena dampaknya meluas dan secara dukungan finansial maupun personil terbatas," kata dia.
Menurut Junjung, salah satu penyebab lambannya respons pemda itu adalah tidak adanya kemampuan dalam menyimpulkan situasi dan informasi yang telah disediakan oleh lembaga terkait, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
"Kapan siaganya, kapan tanggap daruratnya, kapan berhentinya, kapan memulai respons bencana, itu yang menetapkan status (adalah) kepala daerah," ujarnya.
Junjung mengapresiasi kepala-kepala daerah yang memberikan respons cepat dalam tanggap bencana kebakaran hutan. Hal itu membuat BNPB dapat segera melakukan koordinasi dengan sejumlah lembaga terkait, seperti Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, TNI, Polri, dan relawan dalam memberikan dukungan baik personel, peralatan, hingga kebutuhan yang sesuai dengan kondisi daerah dan masyarakatnya.
"Beberapa pemda sudah mengantisipasi melalui siaga darurat dalam melakukan sejumlah persiapan, penyediaan fasilitas, termasuk menjalin koordinasi, sementara koordinasi yang berstatus ekstrem (tanggap darurat) sudah membuat posko-posko penanggulangan," kata dia.