"Kami khawatir pemerintah saat ini mengajarkan rakyat untuk tidak hormat kepada pengadilan, karena pemerintah abai dan tidak taat pada putusan pengadilan yang mengikat pada pemerintah dan rakyat," ujar Ketua Badan Harian ICJR Anggara Suwahju, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (6/8/2015).
Dalam Pasal 263 Rancangan Undang-Undang KUHP, pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden kembali diusulkan menjadi undang-undang. Padahal, pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pada 2006.
Hakim konstitusi berpendapat bahwa pasal 134, 136, 137, 154 dan 155 KUHP merupakan warisan kolonial yang diadopsi pemerintah Hindia Belanda. MK menilai pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi.
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, dengan mendukung pasal penghinaan presiden kembali masuk dalam KUHP, pemerintah sama saja mengajak masyarakat untuk melakukan pembangkangan terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut dia, pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dalam reformasi penegakan hukum.
"Saat pengadilan sudah dilawan, di sini lah hukum itu runtuh. Filsafat hukum mengatakan bahwa seburuk-buruknya putusan pengadilan, putusan tersebut wajib untuk dijalankan," kata Erasmus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.