Pernyataan bernada playing down itu terlihat seolah ingin menyembunyikan masalah ke bawah karpet; tidak meletakkan semua masalah di atas meja, membahas, dan mendialogkannya dengan semua pemangku kepentingan secara berani, terbuka, dan tulus, khususnya ketika keadaan telah kembali kondusif setelah kegaduhan Tolikara.
Lebih jauh, pernyataan bernada playing down mengisyaratkan keengganan mengakui adanya akar-akar masalah lebih fundamental dan akut. Keengganan itu agaknya terkait persepsi bahwa masalah itu terkait agama yang sensitif sehingga jika diungkapkan secara terbuka boleh jadi membuat umat beragama berbeda kian divisive (terpecah belah) menuju konflik dan kekerasan.
Indonesia sebenarnya juga punya tradisi menyelesaikan secara damai pertikaian dan konflik yang bersumber dari intoleransi keagamaan. Berbeda dengan Eropa yang pernah menjalani sejarah pahit perang agama yang panjang, Indonesia sejak zaman baheula tidak memiliki riwayat konflik ataupun perang intra dan antaragama yang masif.
Meski Indonesia punya sejarah dan tradisi kehidupan intra dan antaragama lebih toleran, damai, dan harmonis, para pejabat, pemimpin agama, serta warga sepatutnya tidak bersikap taken for granted bahwa kedamaian itu sudah terwujud sehingga tidak ada lagi masalah yang dirisaukan. Sebaliknya, toleransi dan kerukunan senantiasa memerlukan revitalisasi dan penguatan.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan tidak hanya tindakan represif untuk menghentikan aksi intoleransi dari kelompok agama mana pun, tetapi juga mesti melaksanakan berbagai program preventif. Termasuk paling penting dalam konteks terakhir ini adalah resosialisasi serius dan komprehensif faktor pemersatu bangsa—apa pun agamanya—yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Semua kesepakatan konstitusional ini jelas merupakan modal terbaik Indonesia untuk membangun kehidupan antarmasyarakat agama majemuk yang toleran, rukun, dan damai.
Karena itu, lembaga "semipemerintah", seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang beranggotakan majelis-majelis agama perlu diberdayakan pemerintah. Daerah yang belum memiliki FKUB perlu segera membentuknya. Tidak hanya sampai di situ, pemerintah setempat perlu memfasilitasi FKUB supaya bisa efektif menjalankan fungsinya. Jika tidak demikian, pemerintah akhirnya sering memperlakukan FKUB hanya sebagai "pemadam kebakaran".
Pada saat yang sama, para pemimpin agama arus utama (mainstream) yang memegang hegemoni toleransi, kerukunan, dan kedamaian mesti terus melakukan penguatan inklusivitas, koeksistensi damai, serta harmoni intra dan antaragama. Selama moderasi dalam pemahaman dan praksis keagamaan terus diperkuat sehingga menjadi tata kehidupan sehari-hari (order of the day), selama itu pula intoleransi keagamaan dalam bentuk apa pun tidak bakal mampu merusak tradisi kerukunan keagamaan Indonesia.
Azyumardi Azra
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2015, di halaman 15 dengan judul "Pasca Tolikara".