Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Remisi bagi Koruptor Tak Adil

Kompas.com - 16/03/2015, 06:30 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemerintah yang akan memberikan remisi kepada terpidana koruptor sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Remisi memang hak setiap narapidana, termasuk narapidana korupsi. Namun, mestinya remisi tidak diobral, tetapi diberikan secara selektif dengan standar akuntabilitas tinggi.

"Hak warga telah dirampas koruptor. Wajar jika hak koruptor dicabut karena daya rusak korupsi sangat tinggi," kata Direktur Setara Institute Hendardi, Sabtu (14/3). Ia memberikan tanggapan soal rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

PP tersebut mengatur soal narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme, yang bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi justice colaborator atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Yasonna menyebut aturan itu diskriminatif sehingga perlu direvisi.

Menurut Hendardi, melindungi hak asasi rakyat lebih penting daripada melindungi hak asasi koruptor. Karena itu, memberikan remisi serta beragam keringanan hukum kepada koruptor, kebijakan yang tidak adil.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert, menilai, fasilitas remisi bagi koruptor sebagai sinyal kemunduran dalam pemberantasan korupsi. "Sikap ini mengonfirmasi dugaan bahwa pemerintah memandang korupsi bukan sebagai kejahatan serius. Ini kemunduran dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.

Robert menduga ada cara pandang keliru dalam tubuh pemerintah sekarang. "Terkesan kuat, pemerintah memandang gencarnya pemberantasan korupsi sebagai tindakan yang mengganggu kerja pemerintah," ujarnya.

Diingatkannya, cara pandang itu sangat berbahaya dan keliru karena di negara demokrasi modern, korupsi tetap dipandang sebagai kejahatan serius. Dalam konteks Indonesia, perlu mekanisme khusus dan luar biasa karena korupsi terjadi dengan melibatkan elite-elite institusi politik dan hukum. Korupsi di Indonesia tak hanya merusak keuangan negara, tetapi juga menghancurkan pranata publik yang utama.

"Sikap lemah terhadap pemberantasan korupsi ini mungkin terkait konsensus dan harmonisasi antarpelbagai faksi politik. Akan tetapi, ini konsensus gelap yang membahayakan pemerintahan Joko Widodo. Presiden jangan sampai terjebak," ujar Robert.

Orientasi pada korban

Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak mengingatkan, korupsi adalah kejahatan berat seperti terorisme karena merampas hak-hak ekonomi dan hak kemanusiaan jutaan manusia yang terdampak kejahatan korupsi.

"Mengapa keadilan tidak dilihat dari sisi korban yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada pelaku korupsi," kata Dahnil.

Pemberian remisi kepada koruptor secara nyata mencederai kemanusiaan dan hak kemanusiaan yang dirampas para koruptor melalui tindakan korupsi. "Yasonna Laoly tidak bisa menempatkan koruptor sebagai narapidana biasa. Ketika menjadikan koruptor sebagai napi biasa berarti dia telah melakukan diskriminasi hukum," kata Dahnil yang mengampanyekan gerakan anti korupsi di madrasah dan pesantren.

Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia Khoirul Anam juga mengatakan, rencana Yasonna Laoly sangat jauh dari pedoman Nawacita Presiden Joko Widodo yang bertekad memberantas korupsi.

"Pernyataan Menteri Yasonna Laoly bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dan budaya anti korupsi. Presiden harus menghentikan kebijakan remisi bagi koruptor jika tak ingin dituduh pro koruptor. Korupsi di Indonesia sudah akut dan mengancam kelangsungan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Khoirul.

Mengajak berdiskusi

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com