"Saya dapat info dari Pak Toni (Kapuspenkum), MA sudah buat statement PK hanya bisa diajukan dua kali. Itu sudah langkah maju. Tapi itu belum cukup," ujar Prasetyo, di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (29/12/2014).
Prasetyo mengatakan, seharusnya MA bukan hanya membatasi jumlah pengajuan PK, tetapi juga memberikan batasan terkait waktu untuk mengajukan PK. Menurut dia, pemberian batas waktu penting agar narapidana tidak mengulur-ngulur waktu untuk mengajukan Novum (bukti baru).
"Yang penting pembatasan waktu pengajuan PK harus ditentukan. Ketika orang ajukan PK itu tidak ada batasan waktu orang ajukan novumnya," kata Prasetyo.
Menurut Prasetyo, ketika narapidana mengajukan PK, Kejaksaan tidak bisa memaksakan kapan novum itu diajukan. Dia berharap, pembatasan waktu pengajuan PK tersebut diatur lebih lanjut sehingga terpidana mati segera mendapatkan kepastian hukum.
"Dengan pembatasan waktu ini, kita harapkan jadi solusi baik ada kepastian hukum," kata Prasetyo.
Kemudian, ia mencontohkan pembatasan waktu dalam pengajuan grasi. Narapidana, kata dia, hanya memiliki batas waktu selama satu tahun untuk mengajukan grasi, sejak putusan dinyatakan incracht.
"Di luar satu tahun bisa ditafsirkan yang bersangkutan tidak mengajukan pengampunan. Jadi tidak gunakan haknya," kata Prasetyo.
Sebelumnya, Mahkamah Agung menyepakati pengajuan upaya hukum peninjauan kembali untuk perkara pidana hanya bisa dilakukan dua kali. Meski demikian, MA belum memutuskan instrumen apa yang akan digunakan untuk mengatur ketentuan tersebut. Sejauh ini, di MA hanya dikenal ketentuan peraturan MA dan surat edaran MA.
Hakim agung Topane Gayus Lumbuun, Minggu (28/12), mengungkapkan, kesepakatan upaya hukum PK hanya boleh dua kali telah diputuskan dalam rapat pleno kamar pidana di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Hanya, belum ada kesepakatan di antara para hakim agung apakah ketentuan itu dibuat dalam bentuk aturan yang mengikat internal MA (surat edaran MA/sema) atau aturan yang mengikat secara umum dalam peraturan MA (perma).
”MA harus segera memastikan hal ini dengan menerbitkan perma. Perma itu berlaku sampai ada undang-undang (UU) yang dibuat pemerintah dan DPR yang mengatur kekosongan hukum tersebut,” kata Gayus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.