"Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan primer," ujar hakim Syaiful Arif di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (22/12/2014).
Putusan 6 tahun penjara lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya, Ismy dituntut hukuman 7 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hakim juga mewajibkan Ismy membayar ganti rugi sebesar Rp 3,2 miliar dalam kurun waktu satu bulan. Jika tidak dibayarkan dalam kurun waktu yang ditentukan, kata jaksa, maka harta benda Ismy akan dilelang untuk menggantinya.
"Apabila harta tidak cukup, dipidana selama dua tahun penjara," kata hakim.
Ada pun, hal yang memberatkan menurut hakim yaitu Ismy dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Sementara, hal yang meringankan yaitu Ismy dianggap berlaku sopan selama persidangan, mengakui perbuatannya, dan belum pernah dihukum. Setelah putusan dibacakan, Ismy langsung menyatakan tidak akan mengajukan banding. Ia menerima putusan yang dijatuhkan majelis hakim.
Sementara, jaksa penuntut umum masih meminta waktu untuk memertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau tidak. Ismy dianggap terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menurut hakim, perbuatan korupsi oleh Ismi dilakukan bersama-sama dengan sejumlah orang, di antaranya mantan Kepala BPKS Teuku Saiful Ahmad dan Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, Heru Sulaksono. Sebelum pelaksanaan lelang proyek, sudah ada kesepakatan dengan pihak Nindya Karya agar perusahaan tersebut menjadi pelaksana proyek pembangunan dermaga Sabang.
Dalam proyek pembangunan Dermaga Bongkar Sabang tahun 2006, Ismy sebagai pejabat pembuat komitmen membuat telaahan staf yang menyatakan pelelangan dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Ia beralasan pekerjaan tahun 2006 merupakan satu kesatuan konstruksi bangunan dengan pekerjaan tahun 2004. Untuk itu, Heru selaku Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam melakukan kerjasama operasional (joint operation) antara PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh dan perusahaan lokal, yakni PT Tuah Sejati yang kemudian dinamakan Nindya Sejati Jo.
Pada pelaksanaannya, PT Nindya Karya tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kontrak perjanjian. Hakim menyatakan, ada mark up atau penggelembungan nilai kontrak dengan Nindya Karya. Dengan demikian, terdapat selisih cukup besar antara uang yang dibayarkan BPKS kepada PT Nindya Karya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengerjaan proyek.
Pada 2005, pengerjaan proyek pembangunan dermaga ini sempat dihentikan karena bencana tsunami yang melanda Aceh pada 2004. Pada 2006, BPKS melakukan review master plan dan business plan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang lalu diputuskan untuk melanjutkan kembali pembangunan dermaga bongkar Sabang pada tahun berikutnya.
BPKS melanjutkan pembangunan dermaga dengan skala yang lebih besar menjadi Dermaga Pelabuhan Internasional pada tahun anggaran 2007. Pembangunan dilakukan hingga 2011 dan selama itu terjadi kongkalingkong pihak BPKS dengan Nindya Karya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.