JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Gerindra menyambut positif adanya komitmen Presiden Joko Widodo untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Namun, jika direalisasikan, Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa berharap agar kasus-kasus yang ditangani tidak tebang pilih.
"Itu boleh saja, asal jangan pilih-pilih hanya penculikan saja. Tapi juga kasus 27 Juli, kasus 1965-1966, semua yang berkaitan dalam pelanggaran HAM harus diselesaikan," kata Desmond di Jakarta, Jumat (12/12/2014).
Salah satu korban penculikan aktivis yang selamat itu berpendapat bahwa wacana pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc ini sangat sensitif. Desmond mengingatkan agar kepentingan politik tak dikedepankan dalam wacana itu.
"Kalau ini dasarkan pada kepentingan politik untuk menghabisi lawan politik, maka akan membuat luka baru bagi bangsa ini," imbuh Wakil Ketua Komisi III DPR itu.
Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan, pemerintahan yang dipimpinnya berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM.
"Pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu secara berkeadilan," kata Presiden dalam acara peringatan Hari HAM di Gedung Senisono, Istana Kepresidenan Yogyakarta, Selasa (9/12/2014).
Presiden menegaskan, pihaknya harus memegang teguh dalam rel konstitusi atau UUD 1945 yang sudah jelas memberikan penghargaan terhadap HAM sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. (baca: Jokowi: Pemerintah Berkomitmen Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu)
Untuk kasus penuntasan pelanggaran berat HAM, Jokowi menyebutkan, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, melalui pembentukan komisi kebenaran. Kedua, rekonsiliasi secara menyeluruh atau melalui pengadilan HAM ad hoc.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.