Di sekitar Monas sedang tegang, di Kota Tua suasana sedemikian menyenangkan. Di sekitar MK sudah ada yang berdarah-darah; di Kota Tua ada ondel-ondel, anak-anak yang menari, ibu-ibu dari Komunitas Cinta Berkain yang berlenggak-lenggok di atas panggung, karnaval sepeda ontel, becak, tanjidor, dan lain-lain.
Saya sendiri tentu saja memilih berada di Kota Tua. Selain lebih menentramkan hati, juga karena perhatian saya terhadap kesenian dan kebudayaan lebih besar ketimbang terhadap dunia politik. Lagi pula, secara ideologis maupun emosional, saya tak berkait langsung dengan para pendukung Prabowo. Saya hanya cukup tahu saja, apa keputusan hakim Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan Pilpres 2014 yang bisa saya akses melalui televisi maupun berita online.
Saya lebih baik bersama para seniman lenong, berpantun dan bernyanyi tentang kehidupan sehari-hari, ketimbang terjebak pada urusan yang saya tak sanggup memahaminya. Bayangkanlah saudara, bagaimana bisa Pilpres yang berlangsung secara transparan dituduh curang. Bayangkanlah saudara, bagaimana mungkin Jokowi yang tidak didukung oleh mayoritas partai--dan di antaranya adalah partai berkuasa--, mampu memengaruhi Komisi Pemilihan Umum untuk berpihak kepadanya.
Lebih baik saya bersama anak-anak pramuka yang mengibarkan bendera semapur seraya menyanyikan Kebyar-kebyar karya Gombloh. Sebab darinya, saya beroleh semangat yang murni dari anak-anak SD untuk mencintai negeri ini dengan tulus. Ya, dengan tulus, tanpa harus menjadi seorang presiden terlebih dulu baru berkata mencintai negeri ini. Jadi apa pun profesi kita, entah pramuka, tukang parkir, guru, wartawan, atau profesi apa pun, Indonesia adalah darah kita.
Indonesia ...Merah Darahku, Putih Tulangku
Bersatu Dalam Semangatmu
Indonesia ...Debar Jantungku, Getar Nadiku
Berbaur Dalam Angan-anganmu
"Ssssttt... tapi di sekitar patung kuda dekat Monas juga menyeru jargon-jargon cinta negeri," kata kawan di sebelah saya.
"Tapi nadanya penuh amarah, tidak seperti anak-anak pramuka itu yang menyebarkan semangat sekaligus kedamaian," ujar saya.
"Barangkali karena kita disayang Tuhan, jadi hari ini, detik ini, kita dikirim ke sini, tidak ke sana," sambung kawan saya.
"Iya, sehingga tidak tersulut emosi kita," saya jawab sekenanya.
"Bukannya dulu ente demen banget meliput unjuk rasa yang berdarah-darah?"
"Iya, sampai kangen ledakan gas air mata dan letusan peluru hampa."
"Mungkin karena sekarang ente sudah uzur, jadi Tuhan mengirim ente ke tempat-tempat yag aman dan menyenangkan, hahaha."
"Kok ketawa? Mungkin memang benar pernyataanmu, dan saya mensyukurinya."
Sambil terus berbincang dengan kawan di sebelah, mata saya terus memantau perkembangan yang terjadi di sekitar Patung Kuda melalui tablet. Di sana ada berita yang mengabarkan, bahwa ribuan pendukung Prabowo-Hatta dipukul mundur oleh petugas gabungan yang bertugas di depan patung kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (21/8) siang. Mereka dihalau dengan mobil water cannon serta tembakan gas air mata.
Sekira pukul 14.30 WIB petugas melakukan tindakan tegas karena massa merangsek masuk ke daerah steril yang dijaga kawat berduri. Sebagian pendemo yang mengendarai mobil nekat nerobos penjagaan kawat berduri. Akibatnya, petugas yang bertugas di balik kawat bergerak cepat.
Akibat tembakan gas air mata dan semprotan air ini, ribuan pendemo lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Mereka berlarian menuju kawasan Thamrin.
Mereka berlarian, kocar-kacir, menginjak, menerjang tanaman yang ada di taman kota. Maka tanaman di sekitar Patung Kuda pun rusak. Waduh! Inilah yang saya takutkan. Mengapa juga demi memenuhi hasrat untuk menyampaikan pendapat harus mengorbankan tanaman dan taman yang asri? Mengapa juga mereka tidak duduk manis di rumah atau di kantor jika hanya untuk mendengar keputusan para hakim di MK?
"Lihat bung, ada berita menggelikan nih," kata kawan di sebelah saya, sebut saja Rudi namanya.
Rudi pun lalu menunjukkan berita yang dimaksud. Di sana tertulis, "tiba-tiba saja ratusan pendukung Prabowo ini menyanyi, sujud syukur dan berpelukan. Mereka gembira karena mendengar kabar burung yang entah muncul dari mana, yang menyebut Prabowo-Hatta menang di MK. Padahal hingga kini belum ada putusan apa pun dari MK."
Semula saya hendak tertawa, tapi mendadak saya ingat kawan-kawan saya yang hingga detik ini masih mati-matian membela Prabowo. Di samping itu, tak etis bukan jika kita terbahak di atas derita orang lain?
Hari masih siang, para hakim MK masih membacakan putusan gugatan. Tapi dari para hakim yang sudah membacakan amar putusannya, arah putusan sudah mulai terang. Ya, rasa-rasanya putusan MK akan menolak semua gugatan kubu Prabowo.