"Dokumen DKP itu bukan termasuk kategori Pasal 17 dalam UU Keterbukaan Informasi Publik yang bersifat rahasia negara karena dokumen DKP tidak termasuk informasi yang bersifat strategis," ujar Direktur Program Imparsial Al Araf dalam jumpa pers, di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (10/6/2014).
Al Araf mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu ikut menandatangani dokumen pemecatan Prabowo harus memerintahkan Panglima TNI Jenderal Moeldoko membuka dokumen DKP. Menurut dia, dokumen itu tidak mengancam keselamatan bangsa ataupun mengganggu stabilitas nasional, apalagi mengganggu keamanan nasional yang merupakan kriteria rahasia negara.
Selain itu, kata Al Araf, dokumen DKP seperti yang beredar di media sosial memuat pemecatan berdasarkan tindakan Prabowo, yang memerintahkan Tim Mawar dan Merpati dari Kopassus TNI Angkatan Darat untuk melakukan penculikan aktivis. Operasi penculikan terjadi pada periode 1997-1998.
"Justru saat ini negara harus membuka dokumen tersebut demi kepentingan bangsa ke depan," kata Al Araf.
Pernyataan Al Araf itu menanggapi komentar Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman yang menyatakan bahwa dokumen pemecatan Prabowo bersifat rahasia sehingga tidak boleh diketahui masyarakat. Dokumen itu, kata Marciano, seharusnya tetap berada di Mabes TNI sehingga tidak boleh beredar di masyarakat.
"Dokumen-dokumen itu tidak boleh bocor," kata Marciano di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/6/2014).
Sebelumnya, surat yang disebut sebagai keputusan DKP itu beredar di media sosial. Dalam surat tersebut tertulis bahwa keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998. Di empat lembar surat itu tertulis mengenai pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI.
Tindakan Prabowo juga disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara.
"Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukum administrasi berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan," demikian isi surat tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.