"Dari kami, oke kalau bisa obat dan vaksin jadi itu ditunda dulu deh. Kalau makanan kan jelas mengandung babi atau bukan babi, tapi kalau obat atau vaksin?" ujar Nafsiah di Kompleks Kepresidenan, Jumat (28/2/2014).
Nafsiah pun memprotes lantaran awalnya Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Jaminan Produk Halal. Akan tetapi, Nasiah menuturkan saat ini DPR sudah menyertakan Kemenkes dalam pembahasan RUU tersebut.
Kemenkes, katanya, juga belum memiliki kesiapan kajian terkait siapa pihak yang paling berwenang menerbitkan sertifikat halal. Menurutnya, untuk menentukan sebuah produk sehat atau tidak sehat lebih mudah dibandingkan halal atau tidaknya. Apalagi, lanjut Nafsiah, jika produk yang diuji adalah obat-obatan.
Untuk menentukan kehalalan sebuah produk, sebut Nafsiah, harus dilihat cara pembuatannya. Hal ini yang diakuinya sangat sulit diketahui dalam proses pembuatan obat itu halal atau tidak.
Dia membandingkan praktek sertifikasi di negara lain yang dilakukan pemerintah atau badan sertifikat yang ditunjuk khusus oleh pemerintah. Nafsiah tak mengetahui ada organisasi massa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerapkan praktek sertifikasi halal di negara lain.
Seperti diberitakan, masalah pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal.
Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah dan akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.