KOMPAS.com -
”JANGAN hanya diam. Jangan tiarap. Apa Saudara takut? Mungkin (mereka) yang takut dan tiarap itu adalah kader yang melakukan korupsi. Mengapa Saudara semua harus takut? Mengapa kita digebuki, dihabisi, harus takut?”

Kegeraman yang memuncak itu disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Umum Partai Demokrat dalam temu kader Demokrat di Sentul, Bogor, Jawa Barat, 26 Oktober 2013. Lebih dari setengah jam, SBY membakar semangat kadernya untuk bangkit menghadapi Pemilu 2014.

Cap sebagai partai ”korup” ditepis dengan introspeksi lewat sejumlah pertanyaan SBY yang mempertanyakan keadilan. Hal tersebut dilakukan tepat di tahun kesembilan atau menjelang setahun terakhir dua periode pemerintahannya.

”Benarkah hanya Demokrat yang kadernya korupsi? Apakah pihak-pihak lain bersih dan tidak melakukan korupsi? Mengapa jika kader Demokrat yang salah, (mereka) menghabisinya tidak kepalang tanggung, sementara (partai) yang lain aman-aman saja? Adilkah cara-cara seperti itu?” ujar SBY.

Atas gugatan SBY itu, Ketua Harian Demokrat Syarief Hasan, di Jakarta, Senin (13/1), menyatakan, yang terjadi dengan Demokrat saat ini adalah persepsi sebagai partai paling korup. Padahal, data kepolisian dan KPK menunjukkan, masih ada dua partai lain yang lebih ”korup” dalam segi jumlah.

”Keliru kalau Demokrat dikatakan partai paling korup, tetapi pemberitaan korupsi Demokrat diulang-ulang,” ujar Syarief, yang juga menjadi calon anggota legislatif daerah pemilihan Jawa Barat III (Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur).

Bagaimanapun, Demokrat sadar harus berbenah. Memiliki kader, apalagi petinggi partai, yang terlibat kasus korupsi sungguh merugikan. Dalam upaya agar tak sampai ”kecolongan” kemasukan kader yang korup, Demokrat kini kian mengutamakan integritas kader. Itu sebabnya, pakta integritas ditandatangani semua kader.

Balikkan persepsi

Selain itu, menurut Syarief, semua kegiatan partai, mulai dari membeli bendera hingga mengadakan kongres luar biasa, didanai patungan atau dibiayai lewat sumbangan kader. Pengumpulan dana dilakukan transparan. Langkah semacam ini ditempuh guna menghindari aliran dana siluman yang tidak jelas asal-usulnya, yang ujung-ujungnya bisa membuat Demokrat dirugikan karena kembali dihantam kasus korupsi.

Tentu saja, Syarief paham bahwa tidak mudah membalikkan persepsi yang selama ini sudah terbangun. Upaya perbaikan dan bersih-bersih yang dilakukan Demokrat tak bisa segera membuat citra kurang menggembirakan terhapus begitu saja. ”Demokrat sudah terlalu lama, tiga tahun ’digoreng’ dengan persepsi korup. Butuh proses panjang. Tak bisa seketika membalikkan telapak tangan untuk mengubah persepsi publik, sementara pemilu tinggal beberapa bulan lagi,” ujarnya.

Upaya mendongkrak suara dalam Pemilu 2014 juga ditempuh Demokrat dengan menempatkan caleg secara tepat. Demokrat membuat survei di setiap daerah pemilihan (dapil) yang hasilnya berupa pemetaan tokoh yang paling populer di daerah itu.

Mereka yang dinilai paling populer di antara pemilih ditempatkan sebagai caleg di urutan pertama. Semakin populer seorang caleg, semakin banyak suara yang bisa diraih caleg ini, sehingga suara partai pun bertambah besar.

”Kami betul-betul menyerap aspirasi masyarakat. Kami melakukan penerimaan pencalonan DPR lewat survei. Di semua dapil andalan, kami menyurvei tokoh-tokoh agama, masyarakat, dan kader Demokrat. Mereka lantas diperbandingkan, mana yang lebih representatif di dapil tersebut,” ungkap Syarief.

Penentuan caleg secara obyektif, menurut Syarief, merupakan salah satu cara agar penjaringan tidak bergantung pada kemampuan finansial semata, tetapi pada ketokohan dan harapan masyarakat. ”Jadi, nanti yang menjadi wakil rakyat betul-betul tokoh masyarakat yang disegani. Dia memiliki latar belakang dan karier yang betul-betul sudah dikenal. Ini juga cara mengurangi praktik korupsi di DPR nantinya,” ujarnya.

Demokrat juga membuat konvensi calon presiden Demokrat pada 15 September 2013. Empat kader dan tujuh orang non-kader mengikuti konvensi itu. Apa pun penilaian sebagian kalangan, peserta konvensi (Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, Hayono Isman, Endriartono Sutarto, Sinyo Harry Sarundajang, Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Gita Irawan Wirjawan, dan Irman Gusman) sama-sama memandang konvensi sebagai peluang demokratis untuk menghadirkan capres terbaik dari mana pun asalnya. Hal berbeda ditempuh partai lain yang sangat bergantung pada keputusan pemimpin partai.

Menurut Syarief, elektabilitas Demokrat pada saat ini berkisar 7-10 persen. Padahal, pada tahun 2009, Demokrat mampu meraih lebih dari 20 persen.

”Kami kini memasang target tidak muluk-muluk. Tidak mungkin kami mencapai hasil yang sama dengan 2009. Kami realistis. Ini suatu risiko perjalanan proses demokrasi yang harus kami lalui. Oleh karena itulah, 15 persen menjadi target ideal bagi Demokrat,” ujar Syarief.

Demokrat tidak hanya menanti, tetapi berusaha keras merebut keajaiban di tengah ”badai” kasus korupsi. Rakyat yang akan menentukan. (Stefanus Osa/A Tomy Trinugroho)