JAKARTA, KOMPAS.com — Kinerja aparat dalam mengungkap rentetan teror pembunuhan terhadap aparat kepolisian dipertanyakan. Negara seharusnya bisa segera mengungkap agar masyarakat, khususnya polisi di lapangan, tidak hidup dalam kecemasan.
"Itu aneh, kalau dianggap terorisme menjadi pertanyaan. Kan ada intel, ada polisi, ada tentara. Koordinasinya gimana? Saya curiga ini sebenarnya mau dibongkar atau tidak," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, ketika dihubungi, Rabu (11/9/2013).
Haris mengatakan, jika melihat rentetan penembakan sebelumnya, para pelaku terlihat teroganisasi. Dengan demikian, menurut dia, kepolisian seharusnya mudah membongkar. Berbeda jika dilakukan oleh perorangan.
Haris juga mempertanyakan anggapan aparat keamanan bahwa teroris semakin canggih dalam menebar teror. Nyatanya, teror terhadap polisi belakangan ini masih dilakukan dengan gaya tradisional.
"Saya prihatin buat para keluarga korban. Lebih luas, saya juga prihatin polisi yang menjadi sasaran dan penggunaan senjata api tidak terkontrol," kata Haris.
Haris menambahkan, para pejabat kepolisian harus lebih serius menangani teror itu. Jika para pelaku tidak segera ditangkap, kejadian serupa bakal terulang.
"Kasihan polisi di lapangan. Kerjanya terlalu berisiko, gaji kecil, fasilitas kurang. Pasti mereka berangkat dengan penuh kekhawatiran," pungkas Haris.
Seperti diberitakan, setelah sejumlah rentetan teror penembakan polisi di kawasan Tangerang Selatan, teror kembali terjadi, Selasa (10/9/2013) malam. Anggota Provos Polairud, Bripka Sukardi, tewas ditembak di depan Gedung KPK, Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.