JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi membantah bahwa vonis satu tahun tiga bulan penjara terhadap saksi peniup peluit (whistle blower) kasus suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Agus Condro Prayitno, menciderai keadilan dan membuat orang enggan melaporkan kasus korupsi. Agus adalah politisi yang pertama kali mengungkapkan adanya aliran uang kepada anggota Komisi IX DPR 1999-2004 dalam pemilihan Miranda Goeltom.
"Agus Condro adalah sebagai pihak yang ikut dalam proses pidana korupsi," kata Johan kepada para wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (17/6/2011).
Johan mengatakan, secara pribadi, dirinya menyetujui adanya penghargaan terhadap orang yang turut berjasa membongkar kasus korupsi. Namun, saat ini belum ada undang-undang yang melindungi whistle blower. Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang Undang tentang Tindak Pidana Korupsi belum mengatur mengenai penghargaan terhadap whistle blower. Ia mengatakan, KPK menyerahkan sepenuhnya kepada DPR terkait regulasi yang mengatur penghargaan terhadap seorang whistle blower yang juga terdakwa atau terpidana kasus korupsi.
Seperti diberitakan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Suhartoyo, Kamis (16/6) di Jakarta, memutuskan Agus Condro bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Agus disidangkan bersama tiga terdakwa lain sesama mantan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR periode 2004-2009, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Willem Tutuarima. Max dan Rusman divonis satu tahun delapan bulan penjara, sedangkan Willem divonis satu tahun enam bulan.
Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, putusan hakim terhadap Agus Condro cukup mengecewakan karena justru membuat whistle blower kasus korupsi menjadi korban.
"Kami kecewa dari perspektif whistle blower karena whistle blower justru menjadi korban dari sistem hukum Indonesia. Tidak hanya Agus Condro, Vincent juga dihukum tujuh tahun ketika mencoba membongkar kasus manipulasi pajak Asian Agri. Sementara proses hukum terhadap Asian Agri berjalan lambat," ujar Febri Diansyah.
Febri mengatakan, ke depan akan banyak whistle blower yang takut jika pada akhirnya mereka juga dihukum. "Seharusnya whistle blower divonis bebas. Idealnya seperti itu. Sayangnya, UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak memprioritaskan hal itu," katanya.
Seusai divonis, Agus mengatakan kecewa karena hanya dikurangi tiga bulan dari tuntutan jaksa, satu tahun enam bulan. Namun, menurut Agus, dirinya memang harus dihukum atas perbuatannya menerima suap sebagai pejabat negara.
"Kalau dilihat, saya memang harus dihukum karena Mbok Minah yang dituduh mengambil biji kakao saja dihukum. Masa saya selaku pejabat negara yang menerima hadiah Rp 500 juta tidak dihukum. Itu kan tidak adil namanya," kata Agus.
Pengacara Agus, Firman Wijaya, mengatakan, ada ketidakadilan bagi kliennya karena sebagai pelapor dia dihukum lebih dahulu, sementara pemberi suap sampai hari ini belum jelas status hukumnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.