JAKARTA, KOMPAS.com — Tim jaksa penuntut umum (JPU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meminta majelis hakim untuk menolak eksepsi atau keberatan dua terdakwa kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Hengky Barmuli dan Baharudin Aritonang. Keduanya didakwa dalam satu berkas dakwaan. Eksepsi dibacakan dalam persidangan yang berlangsung pada Rabu (20/4/2011).
"Kami meminta majelis hakim menolak seluruh keberatan yang diajukan terdakwa III (Baharudin) dan terdakwa V (Hengky)," kata anggota tim JPU, Edy Hartoyo.
Anggota tim jaksa lainnya, Anang Supriatna, juga menyampaikan, pihaknya tidak sependapat keberatan pihak Hengky Baramuli yang mengatakan bahwa surat dakwaan tidak cermat. "Surat dakwaan kami telah memenuhi syarat materiil, keberatan terdakwa V (Hengky) harus ditolak," katanya.
Jaksa juga menyatakan bahwa keberatan Hengky yang mengatakan surat dakwaan yang disusun jaksa tidak menghubungkan Hengky dengan Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom sehingga tidak diketahui perbuatan terdakwa itu tak dapat dibenarkan.
"Kami sampaikan poin dakwaan halaman 5 paragraf 1, terdakwa bersama-sama anggota Komisi IX DPR lainnya membahas calon DGS BI, Miranda," kata Anang.
Sementara itu, anggota tim jaksa lainnya, I Kadek Wiradana, mengungkapkan, pihaknya juga menolak keberatan pihak Baharudin yang mengatakan bahwa surat dakwaan tidak merumuskan bentuk dakwaan secara jelas, apakah dakwaan komulatif atau alternatif.
"JPU sudah sangat jelas, bentuk dakwaan adalah alternatif. Sudah cukup jelas di halaman 8 dakwaan, JPU mencantumkan kata 'atau', maka alternatif," katanya.
Terkait keberatan atas pasal yang didakwakan, Pasal 5 Ayat (2) dan Ayat (1) serta Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana yang dinilai tidak tepat, jaksa menyatakan tidak sependapat. Tim jaksa juga menyatakan keberatan pihak Baharudin terkait substansi "bersama-sama" dalam surat dakwaan tidak dapat dibenarkan.
Sebelumnya, pihak Baharudin keberatan didakwa bersama-sama menerima uang suap. Kuasa hukum Baharudin, Maqdir Ismail mengatakan, kliennya tidak pernah bersama-sama menerima uang suap dengan anggota Komisi IX DPR 1999-2004 lain yang berasal dari Fraksi Golkar.
"Bersama-sama memilih Miranda, betul. Tetapi, persoalan pokoknya bukan memilih Miranda, tapi menerima hadiah," ujar Maqdir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.