JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Program Imparsial Al Araf mengatakan, Rancangan Undang-Undang Intelijen sarat dengan kepentingan politis pada 2014. Hal itu terkait adanya pemberian kewenangan intersepsi atau penyadapan bagi Badan Intelijen Negara (BIN).
"Praktik jual-beli informasi berpotensi terjadi. Ini sesuatu yang berbahaya," kata Al Araf pada diskusi di Galeri Cafe Cikini, Jakarta, Sabtu (16/4/2011).
Al Araf menekankan, intersepsi seharusnya hanya dapat dilakukan BIN dengan seizin ketua pengadilan negeri. Hal ini memungkinkan adanya pengawasan terhadap hak intersepsi yang dilakukan aparat intelijen.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya suatu undang-undang tersendiri untuk mengatur soal intersepsi, seperti yang direkomendasikan Mahkamah Konstitusi.
"Mekanisme intersepsi harus diatur secara rinci," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Imparsial juga kembali menyoroti usulan pemberian kewenangan pemeriksaan intensif terhadap terduga pelaku terorisme, sebagaimana terdapat pada daftar inventaris masalah yang diajukan pemerintah. Hal ini, kata Al Araf, membuka peluang inkomunikado detention atau penculikan.
Menurut RUU tersebut, lanjut Al Araf, aparat intelijen diperbolehkan melakukan pemeriksaan selama 7 x 24 jam. Orang yang ditangkap pun tak berhak didampingi kuasa hukum.
"Ini set-back bagi perkembangan demokrasi di Indonesia," tegas Al Araf.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.