JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sjamsir Siregar menyatakan baru 60 persen kebutuhan personel intelijen strategis yang dapat dipasok atau dipenuhi oleh lembaga pendidikan intelijen seperti Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) per tahunnya. Hal itu berarti pasokan tenaga personel intelijen strategis per tahun baru mencapai rata-rata 30 orang saja dari total kebutuhan ideal sebanyak 50 orang per tahun. Keberadaan lembaga intelijen negara sangat lah dibutuhkan, terutama sebagai lembaga pengumpul dan penganalisa berbagai informasi strategis, yang hasilnya akan dijadikan dasar dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah termasuk terkait sistem peringatan dini.
Hal itu disampaikan Sjamsir, Jumat (2/10), usai hadir dalam acara wisuda STIN angkatan I dan II di kampus Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dalam wisuda kali ini dari angkatan I dan II masing-masing dinyatakan lulus rata-rata sebanyak 30 orang. Para lulusan STIN akan disalurkan, prioritasnya untuk BIN dan termasuk juga ke beberapa departemen lain seperti Departemen Luar Negeri. "Jadi kalau dilihat dari jumlah eselon yang ada di seluruh departemen yang ada, kebutuhan personel intelijen baru per tahun idealnya sebanyak 50 orang," tambah Sjamsir.
Lebih, menurut Sjamsir, seluruh mahasiswa di STIN direkrut dari seluruh sekolah unggulan yang ada hampir di setiap provinsi. Mereka lalu dididik dan dilatih dengan berbagai macam bekal ilmu pengetahuan umum, penguasaan bahasa asing, serta keilmuan intelijen. Kompleks kampus STIN berdiri di atas areal tanah seluas 5,5 hektar di kawasan perbukitan Sentul Selatan, Bogor, dan mulai dibangun sejak tahun 2004. Mereka yang lulus berhak menyandang gelar Sarjana Intelijen (S In) setelah menjalani pendidikan jenjang Strata satu selama empat tahun. Selain staf pengajar tetap, para pengajar tamu juga diundang dan didatangkan dari berbagai perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia ditambah para pakar serta praktisi intelijen.
Dalam kesempatan sama Ketua STIN Sutjahjo Adi mengatakan, institusinya lebih terfokus untuk menyiapkan dan mendidik calon intelijen strategis yang lebih terfokus pada kemampuan personel (human intelligence) ketimbang intelijen berbasis teknologi. "Kalau teknologi bisa dibeli dan dipelajari cepat. Coba lihat saja jaringan teroris, mereka sebetulnya kan punya kemampuan yang kuat di masing-masing personel (human intelligence) daripada penggunaan teknologi. Kami menekankan ke para mahasiswa kalau mereka adalah prajurit perang pikir dan bukan untuk perang fisik," ujar Adi.
Dalam pidato ilmiahnya Wakil Kepala BIN As'ad Said Ali mengatakan pada dasarnya kehadiran STIN mempunyai alasan praktis dan strategis yang kuat. Secara praktis kehadiran sekolah tinggi tersebut didorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak untuk mencetak tenaga intelijen yang terampil, profesional, dan berkomitmen tinggi. Kualifikasi seperti itu tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan intelijen yang singkat melainkan harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan yang tersistematis, terencana, serta terprogram dengan baik dan membutuhkan waktu yang relatif lama.
"Kehadiran STIN mungkin memang agak terlambat, terutama jika dibandingkan instansi pemerintah lain yang sudah lama membuka sekolah di bidang profesinya," ujar As'ad dalam pidato ilmiahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.