JAKARTA, KOMPAS.com - Penilaian itu disampaikan anggota Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi, Letjen (Purn) Agus Widjojo, kepada Kompas, Sabtu (22/8). Agus meminta presiden dan TNI mempelajari lebih rinci isi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Jika ayat kedua dari pasal itu memang mengatur tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), salah satunya untuk mengatasi aksi terorisme, Agus mengingatkan, dalam ayat ketiga disebutkan, OMSP hanya bisa dijalankan dengan didasari kebijakan dan keputusan politik negara. ”Jadi, jangan cuma bicara, militer bisa dilibatkan. Silakan, tetapi presiden harus keluarkan dahulu keputusan politik. Entah berbentuk keputusan presiden atau peraturan pemerintah. Kalau mau menggunakan tentara, harus sesuai konstitusi. Jangan nanti malah mengorbankan TNI,” ujar Agus. Nantinya, keputusan politik itu, tambah Agus, berisi rincian kewenangan apa saja yang akan diberikan dan bisa dilakukan Setelah itu dilakukan evaluasi untuk menentukan apakah kewenangan yang diberikan akan diperpanjang kembali. Dengan demikian, keterlibatan militer dalam penanganan masalah keamanan, seperti kasus terorisme, tidak berlarut-larut sehingga malah bisa menimbulkan persoalan baru. Agus juga mengingatkan, tentara di negara mana pun tidak pernah dirancang atau dilatih ”Jadi, harus tegas maunya Sementara itu, saat dihubungi terpisah, anggota Komisi I Fraksi PDI-P, Andreas Pareira, mengingatkan, pendekatan militer bukanlah pilihan tepat walau dalam konteks tertentu hal itu tetap dimungkinkan sepanjang dilakukan dengan benar. Artinya, didahului keputusan politik sesuai yang diatur dalam UU. Keputusan politik itu, menurut dia, bisa dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan presiden.