JAKARTA, KOMPAS.com -
Demikian dikatakan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution seusai bertemu dengan DPR di Jakarta, Selasa (9/6). Ia menjelaskan, neraca Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI mencatat penguasaan aset senilai Rp 163 triliun atau 24 persen dari total aset tetap (aset berupa sarana fisik, bukan nonfisik seperti surat utang pemerintah).
Sekitar Rp 47 triliun atau 29 persen dari aset tetap Dephan dan TNI itu berupa alat utama sistem persenjataan (alutsista). Padahal, untuk mengetahui kesiapan tempur TNI, kondisi aset itu perlu diketahui mana yang masih efektif, yang menjadi rongsokan, dan yang teknologinya ketinggalan zaman.
”Ketidakcermatan dalam melaporkan kondisi alutsista akan mengakibatkan DPR, pemerintah, dan pengguna laporan keuangan tersesat dalam mengambil keputusan. Dengan mengatasi kelemahan ini, saya berharap kecelakaan bisa dihindari,” ujarnya.
Hingga saat ini BPK baru bisa mengaudit kondisi keuangan Dephan dan TNI, tetapi belum bisa menentukan kemampuan alutsista. ”Kami tak memiliki ahlinya. Kami tak bisa menilai atau memperhitungkan, jika Indonesia perang, pasti menang,” tuturnya.
Secara terpisah, pengamat militer dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, Selasa di Jakarta, mengatakan, sejumlah kecelakaan bertubi-tubi yang menimpa alutsista TNI, yang merenggut korban jiwa, sangat merugikan. Kerugian itu tidak hanya berdasarkan jumlah dan nilai persenjataan yang rusak atau hancur, melainkan juga akibat kehilangan sumber daya manusia (SDM) personel TNI yang terlatih dan profesional, seperti pilot dan awak pesawat, maupun helikopter dan personel pasukan khusus.
Menurut Andi, yang paling sulit digantikan adalah membentuk kembali pasukan berklasifikasi khusus, apalagi mereka yang pernah dikirim belajar ke luar negeri. ”Pembentukan pasukan komando butuh pelatihan selama enam bulan, ditambah berbagai program pelatihan khusus rutin yang diselenggarakan per tahun. Indeksnya, per prajurit komando membutuhkan biaya sedikitnya 300 dollar AS per hari,” ujarnya.
Andi memprihatinkan berulangnya sejumlah kecelakaan pesawat militer. Ini dapat berdampak buruk pada mental dan moral prajurit TNI secara keseluruhan. Proses demoralisasi terjadi sebab muncul anggapan keselamatan prajurit TNI sama sekali tidak diperhatikan.
Menurut Andi, sudah saatnya Mabes TNI dan Dephan membentuk tim khusus untuk mencari penyebab sejumlah peristiwa kecelakaan belakangan ini. Tak hanya mengungkap penyebab teknis, tim gabungan itu juga bertugas mengungkap sebab struktural kecelakaan alutsista.