Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Boediono Kaki Tangan IMF?

Kompas.com - 13/05/2009, 21:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pencitraan terhadap Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai orang IMF atau kaki tangan Bank Dunia sudah lama berlangsung. Hal itu diakui Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bambang Soesatyo.

"Anda tentu masih ingat bagaimana ekonom sekaliber Kwik Kian Gie menilai sejumlah ekonom kita yang selalu tunduk pada kehendak IMF maupun Bank Dunia. Kwik bahkan berkali-kali mengkritik Boediono," kata Bambang dalam pesan singkatnya, Rabu (13/5).

Namun, apa benar keduanya orang IMF? "Kita tidak bisa secara absolut menuduh Boediono atau Sri Mulyani itu orangnya IMF atau bukan. Kita hanya bisa menilai atau merasakannya dari ke mana arah rumusan kebijakan ekonomi dan moneter kedua figur itu," kata dia.

"Namun, selama ini pasar uang merasa nyaman dengan kepemimpinan Boediono di Bank Indonesia," Bambang menambahkan.

IMF pernah melekat pada diri Boediono ketika melemparkan resep ekonomi IMF-Bank Dunia saat krisis moneter Indonesia 1997-1998. Ekonom Kwik Kian Gie saat itu menyoroti Boediono soal ini.

Secara terpisah, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI Harry Azhar Azis mengaku sering mendengar Boediono dikaitkan dengan paham ekonomi neo-liberalisme. "Sekarang tinggal strateginya bagaimana meyakinkan fiscal policy antara macro stability dan moneter serta roda perekonomian di bawah bergerak. Itu yang harus ditunjukkan figur Pak Boediono," kata Harry.

Menurut dia, paham neo-liberal merupakan sebuah trade mark, tetapi apakah otomatis kebijakan ekonomi yang diterapkan nantinya lebih ke neo-liberal yang memihak asing ketimbang pengusaha dalam negeri? "Saya sendiri menilai neo-liberal scara teoretis tidak selalu anti rakyat, tapi memperkecil peran negara (dalam dunia usaha)," kata Harry.

Jadi, lanjut dia, kalau peran negara diperkecil, maka intervensi pemerintah dalam mengatur perekonomian juga diperkecil. "Nah apakah misalnya intervensi pemerintah yang pro rakyat seperti kredit usaha rakyat (KUR), bantuan langsung tunai (BLT), dan sebagainya ini nanti akan menciut?" kata dia.

Paham neo-liberal cenderung lebih pro asing. Yang ditakukan sebagian kalangan paham ini akan mengenyampingkan investor lokal atau mengabaikan penggunaan produk lokal. "Pengalaman di negara lain seperti Jepang. Butuh waktu untuk menyelaraskan antara content local dengan paham neo-liberal," kata Harry.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com