Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Rokok Berkembang, Petani Tembakau Tetap Tak Sejahtera

Kompas.com - 24/11/2008, 15:01 WIB

JAKARTA, SENIN - Meningkatnya produksi rokok dan tingginya keuntungan industri tidak otomatis memberikan tingkat kesejahteraan yang setara bagi para petani tembakau. Selama ini upah rata-rata buruh tani per bulan masih di bawah upah rata-rata nasional yaitu hanya sebesar 47 persen.

Di sisi lain, upaya pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan masyarakat, kemiskinan dan meningkatnya perokok remaja senantiasa mendapat tentangan lantaran alasan ekonomi, hilangnya lapangan kerja dan kerugian petani tembakau.

Hal ini terungkap dalam seminar yang diprakarsai Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI), Senin (24/11), di Jakarta.

Dalam seminar itu dipaparkan hasil penelitian mengenai kondisi petani tembakau di 3 wilayah penghasil utama tembakau yaitu Kendal, Bojonegoro dan Lombok Timur.

Penelitian yang diadakan pertengahan tahun 2008 ini bertujuan mengetahui kondisi sosial ekonomi buruh tani dan petani pengelola, hubungan kerja dengan industri rokok dan pendapat petani tentang pengalihan usaha pertanian.

Lembaga Demografi FEUI menemukan bahwa sebanyak 69 persen buruh tani tembakau berpendidikan rendah (SD) atau tidak sekolah sama sekali. Lebih dari setengahnya atau 58 persen masih tinggal di rumah berlantai tanah.

Kondisi petani pengelola tidak jauh berbeda, 64 persen berpendidikan rendah (SD) atau tidak sekolah sama sekali, 42 persen masih menempati rumah berlantai tanah. Keuntungan petani pengelola sebesar rata-rata Rp 1 juta per bulan selama 4 bulan masa tanam. "Hal ini tidak seimbang dengan risiko usaha yaitu kegagalan panen karena iklim, serangan hama, turunnya harga dan kewajiban membayar utang," kata Abdillah Ahsan, peneliti dari Lembaga Demografi FEUI.

Biaya yang dikeluarkan untuk menanam tembakau juga cukup besar, mulai dari penyediaan bibit, pemupukan, hingga perawatan dan kemungkinan gagal panen. Biaya tanam itu didapatkan sebagian petani dengan berutang. "Petani tidak punya posisi tawar terhadap industri, terutama jika berkaitan dengan penentuan mutu tembakau yang menentukan harga," ujarnya.

Sementara itu, Departemen Pertanian telah meniadakan anggaran untuk mengurangi areal tembakau. Sejak tahun 2006, telah dijalankan program untuk mengurangi areal tembakau dan menggantinya dengan komoditas lain seperti wijen, jarak kepyar dan kopi. " Jadi, petani tetap mendapat penghasilan," kata Direktur Budidaya Tanaman Semusim Deptan Agus Hasanuddin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com