SAMARINDA, SABTU - Setelah menderita sakit, H. Oemar Dahlan, tokoh pers Indonesia dan pejuang kemerdekaan, sekitar pukul 14.00 Wita meninggal dunia di Samarinda dan meninggalkan sejumlah dokumen dan hasil karya jurnalistik pada hari-hari terakhir di usianya yang ke-95 tahun.
"Kami warga besar menyatakan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas kehilangan tokoh pers dan pahlawan sejati yang dalam usia tuanya masih tetap berkarya melalui tulisannya," kata Ketua PWI Kaltim, Ir. H. Maturidi di Samarinda, Sabtu, mengenang sang tokoh yang selalu akrab dengan panggilan "Dian Yang Tak Pernah Padam".
Segenap insan pers Kaltim merasa kehilangan, karena pria kelahiran Samarinda 1913 itu tercatat sebagai wartawan paling senior yang masih berkarya sampai usianya 95 tahun sehingga ia dikenal juga sebagai "wartawan lima zaman", dari zaman perjuangan melawan Belanda, Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi.
Saat ini, jenazah disemayamkan di rumah duka Jalan AM Sangaji Gang 9 dikebumikan rencana besok pagi. Almarhum meninggalkan istri, lima anak, tujuh cucu dan satu cicit.
"Almarhum Oemar Dahlan juga dikenal sebagai sahabat karib mantan Wapres, almarhum Adam Malik yang ketika itu sama-sama mendirikan Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) sebagaimana diakui oleh Adam Malik dalam suratnya tertanggal 23 Pebruari 1981 yang menyatakan bahwa Oemar Dahlan adalah salah seorang pendiri dan penegak partai Gerindo untuk daerah Kalimantan," katanya.
Berbagai pergerakan menantang penjajah ia ikuti sehingga Pemerintah Belanda pernah membujuk Oemar agar mau "menyeberang". Ia ditawarkan duduk dalam delegasi Kalimantan Timur ke Konferensi "Bizonder Federal Overleg (BFO) di Bandung pada 1948.
Namun, Oemar muda dengan tegas menolaknya karena tahu maksud melanda dalam BFO itu untuk membungkam pergerakan melalui politik pecah belah untuk membuat negara federasi.
Di zaman Pemerintahan Belanda, Oemar pernah dua kali menghadapi delik pers dan didenda 75 gulden, yakni saat sebagai Redaktur harian "Pewarta Borneo" pada 1935 dan saat menjadi "Hoofdredacteur" (Pimred) "Pantjaran Berita" (koran nasional) pada 1940.
Kifrah Oemar sebelum meninggal masih tetap produktif menulis baik menerbitkan sejumlah buku sejarah perjuangan di Kaltim maupun tulisan-tulisan lepas di berbagai koran harian di Kaltim.
Silih berganti zaman, namun Oemar tetap dengan keyakinannya untuk membela kebenaran melalui penanya, bahkan setelah kemerdekaan, ia rela melepaskan jabatan sebagai PNS di Departemen Penerangan karena merasa kebebasannya terkungkung dalam menulis. Selamat jalan "dian tanpa pernah padam".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.