BEBERAPA hari lalu, diberitakan dan vial, seorang menteri yang juga sekretaris jenderal salah satu partai politik (parpol) resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung.
Tentu saja, penetapan tersangka seorang menteri dan pimpinan parpol dalam kasus korupsi bukan perkara baru, sering terjadi, bahkan ada yang sudah keluar penjara dan eksis lagi di politik.
Namun untuk kasus terakhir ini, mungkin juga karena tahun politik jelang pemilihan umum (pemilu) legislatif dan eksekutif, desas-desus atau rumor politik pun mengiringi. Ada yang menganggap motif politik turut melatari penanganan kasus itu.
Rumor politik memang kerap sulit untuk dibuktikan, meski kemungkinan ke arah itu bisa jadi adalah fakta, atau kemudian menjadi kesimpulan publik.
Belajar dari pelaksanaan pemilu secara langsung, legislatif maupun eksekutif, isu korupsi memang selalu mengemuka dan menyita perhatian publik. Ada dua persoalan mendasar terkait korupsi jelang perhelatan politik elektoral.
Pertama, korupsi politik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasan politik. Korupsi model ini seringkali dilakukan demi memuluskan kepentingan politik dari pejabat publik yang melakukan tindakan koruptif itu.
Kedua, politisasi korupsi, yakni upaya mempolitisasi kasus korupsi melalui propaganda atau kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign) untuk menggembosi atau menurunkan citra dan elektoral kandidat, aktor atau entitas politik tertentu jelang election.
Sudah menjadi konsekuensi logis, pemilu secara langsung membutuhkan ongkos politik (cost politic) yang besar. Tak ayal kemudian berbagai cara mesti dilakukan guna menambah modal jika ingin ikut berkontestasi dalam pemilu.
Demi menambah modal politik, korupsi sering menjadi jalan pintas sejumlah pejabat publik yang akan ikut dalam politik elektoral, legislatif-eksekutif, pusat dan daerah. Setidaknya ada tiga modus korupsi politik yang sering dipakai oleh pejabat publik.
Pertama, modus penyalahgunaan kewenangan. Dengan sejumlah kewenangan yang dimiliki, kekuasaan politik digunakan oleh pejabat publik berlatar belakang politik atau political officials untuk mendulang pundi-pundi dan kekayaan.
Hasil dari itu, di antaranya juga digunakan untuk memaksimalkan agenda pencitraan politik diri maupun entitas politiknya lewat belanja iklan di media massa, memasang baliho, membayar buzzer, influencer dan sebagainya.
Sebagian dana ditengarai juga disetor kepada parpol yang menaungi atau memiliki afiliasi dengan political officials itu. Menjadi semacam kompensasi atas jabatan politik yang didapat.
Caranya, menerima gratifikasi dari perizinan yang disetujui serta penyimpangan administratif lainnya, mark up proyek, memenangkan tender untuk kolega, hingga kongkalikong dengan legislatif mengakomodasi klausula dalam undang-undang atau peraturan daerah yang menguntungkan konglomerasi.
Kedua, modus menjadikan birokrasi sebagai mesin uang. Modus ini dilakukan oleh political officials yang memang membutuhkan banyak dana untuk aktivitas politik jelang pemilu, terutama oleh calon eksekutif dan legislatif petahana, termasuk pejabat birokrasi.
Seringkali untuk dapat mendanai aktivitas politik, mereka menempuh cara-cara konspiratif. Antara lain dengan menempatkan orang-orang kepercayaan mereka pada posisi strategis di birokrasi guna memengaruhi perencanaan hingga pelaksanaan anggaran.
Dengan begitu orang kepercayaannya di birokrasi bisa cawe-cawe mengutak-atik proporsi anggaran, baik untuk dana bantuan sosial, maupun untuk mendapat persentase atau fee dari realisasi anggaran. Mereka akhirnya mendapat dana besar dari hasil konspirasi.
Akibat dari birokrasi patrimonial yang demikian, hampir seluruh strata birokrasi dipaksa mengumpulkan uang untuk membayar ‘upeti’.
Sehingga aparat birokrasi kemudian terpaksa mencari pendapatan di luar biaya resmi, menarik sogokan, meminta komisi, mark up anggaran dan tindakan koruptif lainnya.