Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wamenkumham Ungkap Jokowi Pernah Minta Pasal Penghinaan Presiden Dihapus dari KUHP

Kompas.com - 04/05/2023, 19:56 WIB
Rahel Narda Chaterine,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah meminta pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebaiknya dihapus.

Diketahui, pasal soal penghinaan terhadap presiden memang sempat menuai polemik di masyarakat.

"Beliau mengatakan bahwa adalah 'saya ini kalau dihina juga tidak apa-apa. Jadi sebaiknya pasal itu dihapus'," kata pria yang karib disapa Eddy itu dalam acara "Kumham Goes To Campus" di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Kamis (4/5/2023).

Eddy mengatakan, saat itu tim ahli penyusunan KUHP baru menjelaskan bahwa pasal itu bukan hanya terkait Presiden Jokowi.

Baca juga: Mahfud MD Tegaskan Pasal Penghinaan Presiden Bukan untuk Lindungi Jokowi

Tim ahli KUHP lantas menilai bahwa poin itu berkaitan dengan marwah presiden dan wakilnya.

"Saya kira Prof Tuti (Harkristuti Harkrisnowo), Prof Muladi waktu itu menjawab dengan tegas bahwa ini bukan persoalan Joko Widodo, tapi ini persoalan marwah dari presiden dan wakil presiden," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Eddy juga menjelaskan bahwa dalam filosofi hukum pidana, salah satu fungsi hukum untuk itu melindungi kepentingan di antaranya kepentingan nyawa seseorang, properti, serta martabat.

Oleh karena itu, menurutnya, pasal pencemaran nama baik hingga pasal penghinaan ada untuk melindungi martabat seseorang.

Namun begitu, ia mengungkapkan bahwa presiden tidak seperti orang pada umumnya sehingga perlu ada pasal penghinaan presiden. Hal ini merujuk ke asas primus inter pares atau yang pertama di antara yang sederajat.

Baca juga: Soal Pasal Penghinaan Presiden di KUHP, Wamenkumham: Ini Terkait Marwah, Bukan soal Equility Before The Law

Apalagi, untuk bisa menjadi presiden harus dipilih oleh lebih dari setengah masyarakat Indoensia yang memiliki hak pilih.

"Ini terkait dengan marwah lembaga negara, marwah presiden, marwah wakil presiden. Ini bukan persoalan equility before the law. Tetapi, ini persoalan primus inter pares," katanya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) itu juga menyoroti soal pasal terkait makar atau pembunuhan terhadap presiden.

Kehadiran aturan soal makar, kata Eddy, secara tak langsung menekankan bahwa presiden dan wakilnya memang memiliki kedudukan.

"Makar itu kan pembunuhan terhadap presiden, mengapa harus ada pasal itu kan ada pasal pembunuhan biasa. Itu menandakan bahwa presiden dan wakil presiden itu punya kedudukan dan bukan orang sembarangan," ujarnya.

Baca juga: KSP Sebut Pasal Penghinaan Presiden Delik Aduan, Relawan Tak Bisa Laporkan

Diketahui, pasal penghinaan terhadap kehormatan presiden dan wakil presiden dinilai bermasalah bagi sejumlah koalisi masyarakat sipil.

Halaman:


Terkini Lainnya

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com