SURVEI Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru pascapenetapan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menunjukkan bahwa komposisi dan posisi tiga besar atau tiga teratas calon presiden potensial di laga pemilihan presiden 2024 masih tidak berbeda dengan bulan-bulan terdahulu.
Elektabilitas Ganjar Pranowo versi SMRC mengalami normalisasi ke angka 20,8 persen setelah sempat diterjang isu Piala Dunia U-20 dua bulan lalu, disusul Prabowo Subianto dengan elektabiltas 15,8 persen, lalu Anies Baswedan dengan elektabiltas 11,4 persen.
Bahkan dalam kondisi tertutup bagi para pemilih kritis, masih menurut survei SMRC, jika pemilihan diadakan saat ini, pemilih kritis berbagi preferensi pilihan secara tipis antara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Ganjar mencatatkan elektabilitas pada pemilih kritis sebesar 30,4 persen, bersaing ketat dengan Prabowo Subianto yang meraih angka 29,5 persen. Sementara Anies Baswedan terpaut cukup jauh dengan raihan sekitar 19,8 persen.
Namun yang menarik dari hasil survei terbaru SMRC adalah lahan pertarungan suara masih sangat luas. Dari data SMRC ditunjukkan, masih terdapat 39 persen pemilih yang belum menyebutkan pilihan politiknya secara spontan.
Jadi inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa belakangan kepastian tiga orang calon presiden tidak meredakan dinamika politik.
Terutama setelah pencalonan resmi Ganjar Pranowo oleh PDIP, yang menutup wacana calon presiden selain dua kandidat utama, dinamika pemilihan presiden tahun 2024 berpindah ke isu calon wakil presiden.
Tiga kandidat presiden, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, nyatanya baru berhasil mencakup sekitar 61 persen total pemilih.
Artinya, dengan potensi massa mengambang (floating mass) sekitar 39 persen, raihan elektabilitas masing-masing capres belum memberikan kepastian kemenangan kepada masing-masing kandidat.
Dengan kata lain, pesta masih jauh dari usai. Dengan massa mengambang yang masih cukup besar, peluang kandidat nomor buncit pun masih terbuka lebar untuk masuk ke putaran kedua pemilihan, jika ia berhasil memenangkan pertarungan di arena pemilih mengambang.
Probabilitas inilah yang nampaknya memaksa Jokowi, sebagaimana banyak dinarasikan, harus terus terlibat sampai ke urusan calon wakil presiden yang akan melengkapi ceruk suara calon presiden.
Termasuk isu yang santer dikabarkan bahwa Jokowi sedang menyiasati probabilitas politik baru, yakni memasukkan Sandiaga Uno ke dalam "political equation of Ganjar Pranowo" dan Airlangga Hartarto ke dalam radar politik Prabowo Subianto.
Karena itu, otomatis pergerakan Sandiaga Uno yang keluar dari Partai Gerindra dan konon dikabarkan sedang mencari posisi strategis di dalam Partai Persatuan Pembangunan(PPP), serta merta dianggap sebagai bagian dari pergerakan politik yang didorong, atau setidaknya direstui oleh Jokowi.
Harapannya, pertama, jika Sandiaga Uno memang benar disandingkan dengan Ganjar Pranowo, setidaknya juga sekaligus membawa partai koalisi untuk PDIP.
Kedua, Sandi juga diharapkan bisa melemahkan soliditas organisasional Partai Gerindra di satu sisi, sekaligus menggasak sebagian ceruk suara Anies Baswedan di sisi lain, terutama dari kalangan pemilih Muslim.
Namun bagaimana dengan nasib Erick Thohir? Nama Menteri BUMN ini sebenarnya telah lebih dahulu diisukan digadang-gadang untuk disandingkan dengan Ganjar.
Konon, jasa Erick Thohir dalam mengakomodasi puluhan kader PDIP di dalam jajaran komisaris-komisaris BUMN cukup berpengaruh dalam mendorong sebagian kader PDIP untuk menyuarakan nama Erick di dalam PDIP.
Masalahnya adalah bahwa jika memang ada kesepakatan ketat antara ketiga pihak, Jokowi, Sandi, dan Erick, terhadap berbagai kemungkinan, maka situasi akan baik-baik saja. Namun jika tidak, tentu akan melahirkan kerepotan politik bagi Jokowi.
Bagaimana jika akhirnya Ganjar dan Sandi berhasil disatukan, lalu Erick Thohir mencari biduk lain, karena tidak terdapat "deal politik" yang jelas sebelumnya.
Dengan sumber daya material yang nampaknya cukup menjanjikan, bagaimana jika Erick menawarkan diri kepada Prabowo Subianto atau Anies Baswedan?