“Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.
Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu. Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.
Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.
Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.
Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.”
ANDAI saja puisi tentang anak yang ditulis Kahlil Gibran itu diresapi dalam-dalam oleh AKBP Achiruddin Hasibuan, mungkin saja perwira polisi di Polda Sumatera Utara itu bisa mendidik anaknya, Aditya Hasibuan dengan baik dan benar.
Kekejaman yang dilakukan Mario Dendy Satriyo terhadap David Ozora yang berakibat fatal, ternyata sudah didului oleh perilaku bengis Aditya Hasibuan, putra bekas Kabag Bin Opsnal di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumatera Utara.
Setiap satu kejahatan yang terkuak ternyata berhulu dari kejahatan lain, dan itu nyata adanya baik di kasus Mario Dendy maupun Aditya Hasibuan.
Kebengisan dan kesombongan dari anak-anaknya adalah imbas perilaku tidak benar dari ayah-ayahnya.
Berkat ulah tidak terpuji dari sang anak ternyata membuka aib orangtuanya yang selama ini tertutup rapat. Kasus rasuah, gratifikasi super jumbo, tindak pidana pencucian uang, kekayaan yang didapat dari hasil “embatan” orangtuanya, bocor dan terkuak berkat kelakuan anaknya yang “tengil” dan sok jagoan.
Berbeda dengan kasus Mario Dendy yang cepat ditindaklanjuti pihak berwajib, kasus kekejaman Aditya baru terendus media usai video penganiayaan menjadi “viral” sekitar 10 hari yang lalu.
Padahal kejadian yang memilukan dan dialami Ken Admiral terjadi pada 22 Desember 2022.
Pihak kepolisian Polda Sumatera Utara baru sigap bertindak usai kasus ini meruyak ramai di jelang akhir April 2023, dan ditanggapi keras oleh Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Ahmad Sahroni di akun media sosialnya.
Bahkan Sahroni menduga kasus ini mengendap cukup lama karena diintervensi AKBP Achiruddin Hasibuan.
Sahroni yang memiliki “pengaruh” di jagat media sosial bahkan terus aktif mengawal kasus itu, mulai dari ajakan ke Polri untuk berani mencopot jabatan Achiruddin, menelisik kepemilikan motor gede yang kerap dikendarai dengan “ugal-ugalan” oleh Achiruddin, dugaan kepemilikan harta yang tidak wajar hingga pemecatan.
Identik dengan kasus Mario Dendy, kasus penganiayaan yang menimpa Ken Admiral oleh Aditya Hasibuan bermula dari masalah wanita. Namun ada yang membedakakan dengan jelas antara ke dua kasus biadab itu, yakni keterlibatan aktif dari ayah Adiyta dalam proses penganiayaan.
Mungkin Achiruddin lupa dan mengabaikan hasil pendidikan dan pemahaman etika kepolisian yang pernah dipelajarinya dulu. Seorang polisi harusnya bisa dengan tegas menindak kejadian kejahatan yang tengah berlangsung.