PRESIDEN Soekarno dalam arahan dan kuliah pertama di depan para peserta Kursus Reguler Angkatan (KRA) 1 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Istana Negara, Jakarta, tanggal 20 Mei 1965, menekankan bahwa tatanan demokrasi yang ideal bagi negara berkembang seperti indonesia, adalah yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir masyarakat dan kemampuan nasional yang mampu makin menyejahterakan perekonomian (Geopolitik dan Konsepsi Ketahanan Nasional, penyunting: Ermaya Suradina dan Alex Dinuth, 2001).
Amanat Bung Karno ini mengarahkan pada kebijaksanaan politik yang harus benar-benar ditujukan pada kemampuan mengatasi dan menghilangkan pengaruh-pengaruh ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Semua ini agar kehidupan politik dan kenegaraan didasarkan pada apa yang dipersyaratkan oleh UUD 1945 dan demokrasi yang dirasa paling sesuai.
Dengan begitu kegiatan politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan demokrasi Pancasila, tidak diberi hak hidup.
Untuk memperoleh ketahanan mental-iedologis ini, perlu ditanamkan kesadaran yang meliputi kesadaran berideologi Pancasila, kesadaran nasional, kesadaran bernegara, dan kesadaran berpolitik.
Hal tersebut semakin relevan dengan kondisi saat ini bahwa santer tersiar kabar kaum fundamentalis, radikalis, dan teroris masuk partai politik.
Dalam kesempatan dialog kebangsaan BNPT, KPU, dan Bawaslu bersama partai politik di Hotel The St. Regis Jakarta, Senin (13/3/2023), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengungkapkan ada pihak yang terafiliasi kelompok terorisme masuk menjadi anggota partai politik (parpol).
Teroris tampaknya sudah semakin lihai. Semula mereka bergerak menyebarkan bom. Masih segar kita ingat pada tahun 2000 dan tahun 2001, adalah tahun yang mencekam dan berdarah di mana peristiwa bom Bali terjadi.
Aksis terorisme ini mencabik-cabik ketentraman dan merusak kedamaian bangsa Indonesia, demikian mengerikan.
Namun dua dasawarsa lebih peristiwa itu berlalu, masih saja (tanda-tanda) terorisme masih hidup. Kendati demikian berbagai upaya telah ditempuh untuk mencegah dan memberantas terorisme. Antara lain melalui dua pendekatan kebijakan.
Pertama, melalui penegakan hukum agar penanggulangan tindak pidana terorisme dapat ganjaran yang setimpal.
Kedua, pendekatan kebijakan berbasis ideologi. Memang, pemberantasan terorisme di Indonesia harus ditopang oleh kesadaran semua elemen bangsa berperan aktif.
Dalam kancah demokrasi, kita diberi tahu: laga persaingan adalah keniscayaan –maka siapa saja boleh masuk, asalkan konstitusional.
Ia sebagai personalitas ataupun partai politik, sudah memastikan identitasnya dan ini praktis penanda konstitusi. Namun identitas dalam laga demokrasi, selalu menyimpan ide –ini menjadi status yang istimewa.
Fenomena ini yang ditilisik oleh Carl Schurz sebagai persamaan hak. Maka, menurut Carl, “dari persamaan hak muncul identitas sebagai kepentingan tertinggi.”