“Mudah untuk memberikan argumentasi kenapa masa jabatan kelapa desa harus sembilan tahun, namun lebih mudah lagi adalah membuat argumentasi untuk menentanganya.”
BEGITU pernyataan Sutoro Eko dalam sesi diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (PKSPH FH UAD) pada Februari lalu.
Masyarakat Jawa mengenal istilah desa mawa cara, negara mawa tata yang memiliki arti kemandirian desa yang tidak bergantung pada negara serta untuk saling menghomarti kapasitas masing-masing.
Bahkan, konstruksi Republik Indonesia yang dikonsep oleh Soepomo (1945) tidak lain berangkat dari refleksi terhadap “republik desa”, harapannya Republik Indonesia nantinya dapat menjadi negara yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) selayaknya desa-desa.
Bahkan,Moh. Hatta (1966) menyebut demokrasi lokal di Indonesia lebih maju, terutama di desa-desa di mana bukan hanya demokrasi secara politik (musyawarah) melainkan demokrasi secara ekonomi (tanpa ketimpangan) hingga menginspirasi muncul gagasan perekonomian berbasis kerjasama (cooperation) yang disebut Koperasi.
Pascakemerdekaan, identitas desa kemudian mulai dikooptasi oleh negara. Robert Chamber (1979) menyebut terjadi penjungkirbalikan (putting the last first) dari pihak luar desa yang merasa “sok tahu” tentang desa sehingga menimbulkan berbagai macam bias.
Berbagai bias ini oleh Sutoro Eko (2023) paling tidak diklasifikasikan menjadi 4 (empat) hal, yakni: eksklusi/pengabaian, kontradiksi, distorsi, dan akuisisi.
Desa selama ini telah diabaikan, di mana berbagai macam kebijakan ataupun regulasi cenderung berangkat dari supra-desa dengan mengabaikan fungsi dan peranan desa.
Bahkan, banyak muncul kontradiksi dalam berbagai regulasi yang bersifat sektoral, baik mendukung legitimasi sosial maupun perlu ada legitimasi yuridis (legalitas).
Dampaknya adalah antarregulasi terjadi distorsi yang mengabaikan peran penting terhadap masyarakat desa dan cenderung mengakuisisi peran dan fungsi desa melalui kebijakan pusat lewat regulasi.
Upaya negara mengkooptasi desa tidak lebih dari bagian dari negaranisasi desa, padahal desa lebih dulu ada ketimbang negara Republik Indonesia.
Proses negaranisasi ini dengan cara mengatur desa sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari kepanjangan administrasi negara.
Walaupun UU Desa memiliki peran penting dalam mengembalikan berbagai kewenangan yang berangkat dari hak tradisional ditambahkan kewenangan lokal skala desa, namun politik anggaran dan penataan desa yang masih dikontrol oleh pusat menjadi alat untuk mengatur desa.
Pengaturan oleh negara yang hampir pada semua lini membawa dampak mental “dependensi” di mana mengikis kemandirian yang selama ini menjadi pencirian masyarakat desa.
Kemandirian politik dianulir oleh aturan sistem pemilihannya, kemandirian hukum diakuisi melalui sistem peradilan nasional, kemandirian ekonomi dikikis oleh status tertinggal dan masih banyak lagi.