“MENCLA-mencle” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tersebut berarti tidak dapat dipercaya atau bicaranya tidak bisa dipegang sama sekali.
Lain lagi menurut penuturan mendiang simbah saya, “esuk dele, sore tempe”. Makna kalimat Bahasa Jawa itu, pagi berwujud kedelai dan sore berupa tempe mengandung pengertian inkonsistensi. Berubah pendapat atau mengingkari janjinya sendiri.
Mencermati fenomena terkiwari, baik di tataran elite nasional hingga pejabat di bawahnya sepertinya memang gejala “mencla-mencle” sudah menjadi tabiat.
Bahkan di kalangan masyarakat kita sampai ke anak muda pun, “esuk dele sore tempe” adalah hal yang mulai dibiasakan.
Seorang menteri di kabinet sekarang ini pernah berujar kalau generasi muda masa kini dan di masa depan dipastikan akan menjadi penyedia dan ahli dalam hal teknologi digital.
Lebih lanjut sang menteri bertitah, generasi muda tidak hanya menggunakan edukasinya untuk mereka seorang diri, tapi juga bisa mentransfer ilmu mereka kepada generasi mendatang dan jelas ini menjadi titik bahwa anak muda sangat memainkan peranan penting dalam mencapai transformasi digital global (Antaranews.com, 23 April 2022).
Mungkin saja sang kepala kementerian itu paham betul untuk kemajuan teknologi digital dalam kehidupan yang serba canggih ini, dibutuhkan proyek pembangunan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dengan anggaran tambun.
Tidak itu saja, mega proyek tersebut dilengkapi dengan pengerjaan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Kini sang menteri, berada di pusaran kasus rasuah dan konon disebut meminta upeti rutin setengah miliar rupiah saban bulannya dari para kontraktor.
Sang adik kandung menteri malah ikut “cawe-cawe” di proyek tersebut (Tempo.co, 30 Maret 2023). Bicaranya seolah-olah mengerti kebutuhan anak muda, tetapi ternyata ada “udang” di balik “rempeyek”.
Seorang anak muda yang “ngebet” jadi pemimpin negeri melaporkan kalau kondisi kehidupan sekarang semakin sulit.
Harga sembako semakin mahal, biaya pendidikan yang tinggi hingga banyak guru honorer yang tidak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Mungkin saja sang calon pemimpin nasional ini kurang jauh “pikniknya”. Dulu sebelum Jokowi memimpin, kondisi seperti itu juga sudah meruyak di era pemimpin lama.
Justru harusnya sang anak muda tersebut menyampaikan dengan data sehingga bisa membandingkan dengan adil.
Kita tidak bisa mengingkari, pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan segala sendi kehidupan berhasil selamat kita lalui.
Bangsa ini tetap tegak berdiri walau sempat “sempoyongan”. Negara-negara lain seperti Srilanka, Bangladesh, Malaysia bahkan Turki sekalipun malah collaps akibat hantaman Corona.
Saya tidak bisa membayangkan andai pageblug Covid-19 terjadi di era ayahnya anak muda itu memimpin negeri ini. Apa bisa sesanggup seperti era sekarang ini?
Memang di setiap era kepemimpinan tidak ada yang seratus persen sempurna. Akan lebih bijak jika bisa memandang semua persoalan dengan adil dan obyektif.
Seorang kepala daerah di Kalimantan Tengah meminta jajarannya untuk bekerja dengan rasa penuh tanggungjawab. Bahkan sang pemimpin daerah itu dengan lantang menggarisbawahi soal kepemimpinan yang sangat membutuhkan kemampuan individu.