JAKARTA, KOMPAS.com - Orangtua salah satu terdakwa kejahatan jalanan (klitih) yang menewaskan anak anggota DPRD Kebumen Daffa Adzin Albazith (17) mendatangi gedung Komisi Yudisial (KY), Jakarta Pusat, Selasa (7/3/2023).
Mereka didampingi oleh kuasa hukum mendatangi KY untuk melaporkan hakim yang menjatuhkan vonis terhadap anak mereka, yang diduga merupakan korban salah tangkap.
"Ya hari ini KY sudah menerima baik orang tua maupun kuasa hukum dari apa yang disebut korban rekayasa kasus dalam kaitannya dengan peristiwa klitih di Yogyakarta," ujar Juru Bicara KY Miko Ginting saat ditemui di kantornya.
Miko mengatakan, KY menerima audiensi dari pihak keluarga terpidana kasus klitih beserta kuasa hukumnya.
Baca juga: Orangtua Terdakwa Pelaku Klitih di Gedongkuning Yogyakarta Sampaikan Anaknya Tak Bersalah
Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga melaporkan tiga hakim yang menangani perkara dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"Laporannya sudah secara resmi diterima KY. Tentu ini akan jadi bagian untuk kami tindaklanjuti terutama dengan langkah-langkah verifikasi," katanya.
Miko mengungkapkan, KY harus melakukan verifikasi terlebih dahulu demi melengkapi laporan tersebut.
Nantinya, laporan itu akan dibawa ke sidang panel untuk diputuskan apakah laporan bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Baca juga: Tak Terima Putusan, Sidang Klitih yang Tewaskan Anak Anggota DPRD Kebumen Ricuh
Pengacara terpidana klitih atas nama Ryan Nanda Syahputra (19) dan Fernandinto Adrian Saputra (19), Arsiko berharap pelaporan mereka bisa diterima untuk membuktikan kalau hakim yang memvonis kliennya telah melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Arsiko mengatakan, hakim yang menangani perkara kasus klitih ini tidak netral dalam menjatuhkan vonis.
Terlebih, kata Arsiko, putusan yang dijatuhkan oleh hakim aneh.
"Kita dapat buktikan bahwa hakim di situ tidak netral, yang harusnya aktif, ini pasif. Seolah-olah tinggal hanya mengolah apa yang disajikan JPU. Kami penasihat hukum diabaikan. Putusannya aneh menurut kami," kata Arsiko.
"Kami sama-sama orang hukum, sekolahnya bareng, di S1 materinya sama, cuma beda tempat saja. Kenapa ini jadi seperti ini putusannya?" ujarnya lagi.
Perwakilan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Yogyakarta, Dian Andriasari, memberi contoh bentuk ketidakprofesionalan yang diduga dilakukan hakim selama proses persidangan.
"Contoh sederhana, ketika proses persidangan, hakim sangat tidak etis menanyai saksi-saksi yang dihadirkan penasihat hukum itu dengan pertanyaan yang seksis. Kami pikir itu melanggar HAM. 'Anda solat atau tidak? Bisa ngaji atau tidak? Anda kok kurus? Anda jangan-jangan narkoba?'" kata Dian.