JAKARTA, KOMPAS.com - Doktor ilmu politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menilai bahwa pemerintah harus bergerak merespons putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengulang tahapan Pemilu 2024 yang sedang berlangsung, yang berimbas pada penundaan pemilu.
Sebelumnya, putusan ini berangkat dari gugatan perdata nomor register 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) terhadap jajaran KPU.
PRIMA merasa dirugikan oleh KPU karena dinyatakan tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024, sehingga tak bisa ambil bagian dalam Pemilu 2024.
"Di luar KPU akan menyelesaikan persoalan hukum terkait hal di atas, maka seyogianya pemerintah pun harus turun tangan memastikan bahwa semua agenda yang diindikasikan untuk menunda pemilu tidak akan terjadi," kata Aditya dalam keterangan tertulis pada Jumat (3/3/2023).
Baca juga: Sayangkan Putusan PN Jakpus soal Penudaan Pemilu, PSI: Kita Sudah Siap Menang di 2024
Menurut dia, pemerintah harus memastikan bahwa segala manuver untuk menunda pemilu tidak memperoleh dukungan dalam bentuk apa pun.
"Ini harus dinyatakan sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mendukung penyelenggaraan pemilu nanti," ia menambahkan.
Aditya memperkirakan bahwa publik akan terus bereaksi negatif terhadap upaya siapa pun yang menginginkan penundaan pemilu yang notabene melangkahi amanat UUD 1945.
Perkiraan ini berdasarkan hasil survei nasional lembaga Algoritma pada Desember 2022, lembaga di mana Aditya tercatat sebagai direktur eksekutifnya.
Baca juga: Pemilu Ditunda Tak Menguntungkan bagi Partai dan Capres, Biaya Politik Bakal Meningkat
"Survei Nasional Algoritma di bulan Desember 2022 menyatakan bahwa lebih dari tiga perempat masyarakat menolak penundaan pemilu," kata Aditya.
"Dan 66 persen tidak setuju perpanjangan masa jabatan presiden," tambahnya.
Dengan data ini, maka ia mengaku tidak heran bila PN Jakpus menjadi bulan-bulanan karena telah memicu kemarahan dan kekecewaan publik.
Apalagi, PN Jakpus dinilai telah bertindak melampaui kewenangannya dengan memutuskan penundaan pemilu.
"Isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden adalah isu politik yang sensitif di mata publik saat ini," ucap Aditya.
Sejauh ini, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, sudah mengeluarkan pernyataan. Ia menilai PN Jakpus bertindak terlalu jauh.
"PN Jakpus membuat sensasi berlebihan," kata eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023) petang.