JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menilai kewajiban bagi para aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara negara untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) masih mempunyai beberapa celah untuk terjadi penyimpangan.
Agus menyampaikan hal itu terkait dengan kasus dugaan kekayaan yang tidak wajar dari mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo.
Agus menyatakan celah terjadinya penyimpangan atau manipulasi yang dilakukan pejabat saat menyampaikan LHKPN terjadi karena sanksi yang tergolong ringan, lemahnya verifikasi, hingga rentan dimanipulasi.
"Memang soal sanksi LHKPN dari dulu sering dianggap kurang keras karena kalau mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 itu hanya sebatas administratif," kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Selasa (28/2/2023).
Baca juga: Rafael Alun Tiba di KPK, Jalani Klarifikasi Harta Kekayaan Rp 56,1 M
Sanksi administratif itu berupa pemotongan gaji, penurunan jabatan, hingga pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Agus mengatakan, persoalan verifikasi oleh penerima laporan juga menjadi problem tersendiri dari LHKPN. Sebab pemeriksaan ulang terhadap berbagai LHKPN itu tentu membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
"Yang sudah melaporkan saja seringkali verifikasi dan tindaklanjutnya juga kurang seperti kasus Rafael itu
Dalam hal pengisian LHKPN, kata Agus, juga rawan terjadi manipulasi karena sifatnya berupa inisiatif atau self assesment.
"LHKPN itu juga seperti isi SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan), jadi kadang juga disamarkan asetnya atas nama orang lain, keluarga atau pihak lain," ujar Agus.
Baca juga: KPK Sebut Rafael Alun Trisambodo Punya Saham di 6 Perusahaan
Agus menilai jika terdapat kejanggalan dalam LHKPN seorang ASN atau penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan profil jabatannya memang sebaiknya segera didalami asal-usul hartanya, guna mengungkap apakah terdapat indikasi korupsi atau dugaan pencucian uang.
Rafael menjalani klarifikasi oleh Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan (PP) Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Penyebabnya adalah Rafael menyatakan mempunyai harta sebesar Rp 56,1 miliar di dalam LHKPN yang dianggap tidak wajar dan tak sesuai profil jabatannya.
Perwakilan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang membawahi DJP sebelumnya telah mendatangi KPK membahas klarifikasi harta kekayaan Rafael.
Baca juga: Abraham Samad Sebut Laporan PPATK soal Rafael Alun ke KPK Saat Itu Hanya Tembusan
Kekayaan Rafael disorot setelah salah satu anaknya, Mario Dandy Satrio (20), menjadi tersangka penganiayaan terhadap D (17).
Gaya hidup Mario kemudian menjadi sorotan karena dia kerap memamerkan sejumlah kendaraan mewah seperti mobil dan sepeda motor besar.
Selang beberapa waktu kemudian, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Rafael terendus melakukan transaksi "yang agak aneh".
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menduga Rafael menggunakan nominee atau orang lain untuk membuka rekening dan melakukan transaksi.
PPATK pun telah mengirimkan hasil analisis transaksi mencurigakan Rafael ke KPK sejak 2012.
“Signifikan tidak sesuai profile yang bersangkutan dan menggunakan pihak-pihak yang patut diduga sebagai nominee atau perantaranya,” kata Ivan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.