Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perubahan Sistem Pemilu di Tengah Jalan Dikhawatirkan Demi Kepentingan Politik Parpol Tertentu

Kompas.com - 22/02/2023, 20:30 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar politik Philips J Vermonte menilai bahwa perubahan sistem pemilu idealnya dilakukan tidak untuk Pemilu 2024 mendatang, sebab tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan sejak 14 Juni 2022.

Perubahan sistem pemilu di tengah jalan dikhawatirkan menjadi problem tersendiri yang justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek partai politik tertentu.

Ia berpendapat, seandainya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal perubahan sistem pileg yang saat ini bergulir, maka majelis hakim sebaiknya menyertakan klausul bahwa putusan tersebut berlaku untuk Pemilu 2029 atau 2034.

Baca juga: Caleg Sistem Proporsional Tertutup Rentan Ditentukan Faktor Nepotisme dan Suap

"(Dengan menunda penerapan putusan), kita bisa memastikan bahwa apapun perubahan sistem pemilu yang kita ambil dilakukan bukan karena kepentingan politik hari ini, tetapi memang karena pertimbangan sistem apa yang baik dan dibutuhkan," kata Philips dalam diskusi virtual yang disiarkan akun YouTube Reri Lestari Moerdijat, Rabu (22/2/2023).

"Jadi dia bisa berjalan dalam pemilu 5 tahun berikutnya, atau 10 tahun berikutnya," ucapnya.

Apabila sistem baru dipaksakan berlaku dalam Pemilu 2024, lanjut Philips, maka ia khawatir "risiko politiknya akan tinggi".

Baca juga: Tak Bahas Sistem Pemilu, Surya Paloh Yakin Jokowi Dukung Proporsional Terbuka

Saat ini saja, 8 dari 9 partai politik di DPR RI kompak menolak perubahan sistem pileg proporsional terbuka yang sudah diterapkan Indonesia secara murni sejak 2009,

Hanya PDI-P partai politik yang secara tegas menyuarakan dukungannya pada kembalinya sistem pileg proporsional tertutup.

Dengan ditundanya penerapan putusan, MK dianggap memang berorientasi pada perbaikan sistem politik di Indonesia melalui perubahan sistem pileg, seperti memperkuat aspek keterwakilan hingga memperbaiki mutu legislasi.

Baca juga: Surya Paloh Prediksi Sistem Proporsional Tertutup Bakal Ganggu Stabilitas Pemerintah

"Kalau perubahan ini didasarkan pada kepentingan jangka pendek, sebaiknya tidak (dilakukan) karena dia tidak akan membawa tujuan yang diinginkan untuk memperkuat demokrasi atau memperkuat governmentality," jelas Philips.

Sebagai informasi, isu pergantian sistem pileg ini menghangat setelah adanya gugatan terhadap pasal sistem proporsional terbuka di UU Pemilu.

Gugatan tersebut didaftarkan sebagai perkara nomor 114/PUU-XX/2022 dan saat ini memasuki tahapan mendengarkan keterangan berbagai pihak terkait.

Baca juga: Gugatan Soal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Masih Berproses, Ketua MK Minta 14 Penggugat Menunggu

Dengan sistem proporsional terbuka murni, sejak 2009, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif (caleg) yang diharapkan duduk di parlemen, dan caleg yang berhak mendapatkan kursi di parlemen adalah mereka yang berhasil meraup suara terbanyak.

Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik. Partai yang kelak berwenang menentukan anggota dewan yang berhak duduk di parlemen mewakili suatu daerah pemilihan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Nasional
Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com