JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melangsungkan proses pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) sejak 12 Februari 2023.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022, proses coklit dilakukan berbasis data kependudukan/KTP elektronik alias secara de jure.
Di lapangan, selama sepekan pertama coklit, pendekatan de jure ini disebut menyisakan sejumlah masalah yang dikhawatirkan bermuara pada tak akuratnya data daftar pemilih dan alokasi TPS.
Baca juga: Sepekan Pertama Coklit Pemilih 2024, Petugas di Sejumlah Daerah Masih Terkendala Logistik
"Misalnya di Kota Bogor, ada pembangunan rel kereta double track. KPU tidak mau menghapus data pemilih di lokasi yang sudah tergusur, dengan dalih KPU bekerja berbasis KTP elektronik," kata Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, kepada Kompas.com pada Selasa (21/2/2023) pagi.
Ia mengeklaim bahwa temuan itu berdasarkan pemantauan yang dilakukan jajarannya di Jakarta, Gorontalo, Lampung, Sumatera Barat, dan Jawa Barat hingga 18 Februari 2023.
Lembaganya saat ini sudah terdaftar sebagai pemantau pemilu terakreditasi tingkat nasional di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
Baca juga: Minta Warga Tak Tolak Petugas Pantarlih, Bupati Sumenep: Jangan Takut Coklit, Itu Tahapan Pemilu
"Padahal rumah itu sudah digusur. Begitu pun (warga sekitar) rel Kiaracondong, Bandung, dan relokasi penggusuran Cisumdawu. Secara de facto, sudah tidak ada penduduk," tambah Neni.
Ia menilai, KPU seharusnya melakukan pemetaan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat lewat dinas kependudukan dan pencatatan sipil untuk mengetahui ke mana penduduk tersebut pindah.
Selanjutnya, KPU dan pemerintah daerah bisa mendatangi mereka untuk mengurus formulir pindah memilih atau merekam data KTP elektronik teraktual.
Jika tidak, maka hal itu dikhawatirkan bakal mengancam hak pilih warga tersebut karena diharuskan mencoblos di lokasi yang jauh dari domisilinya saat ini.
"Lokasi-lokasi yang terdampak bencana, proyek pembangunan, dan kelompok rentan harus dipastikan berjalan lancar. Ini menjadi krusial untuk dipantau berapa kartu keluarga (KK) yang terdampak bencana, penyusunan daftar pemilih dan pemetaan TPS," ungkap Neni.
"Jangan sampai ada pemilh yang memenuhi syarat tidak terdata dan tidak terdaftar dalam data pemilih sehingga kehilangan hak pilihnya," sambungnya.
Sebelumnya, masalah serupa sudah diprediksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang secara khusus menyoroti kemungkinan terdaftarnya orang meninggal tampa dokumen sebagai pemilih di Pemilu 2024.
"Dulu itu, dalam proses pendataan, kita itu de facto. Orang meninggal kita bisa coret dari daftar. Tapi sekarang tidak bisa, harus de jure, selagi tidak ada surat keterangan kematian maka dia tidak bisa dihilangkan dari data, misalnya. Maka itu menjadi potensi kerawanan tersendiri kan," jelas Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty, pada Kamis (16/2/2023).
Baca juga: Bawaslu Ungkap Kerawanan Coklit, Orang Meninggal Disebut Masih Bisa Terdaftar jadi Pemilih
Sementara itu, KPU RI mengeklaim bakal berupaya maksimal untuk memastikan hal-hal di atas bisa diantisipasi.