SEMINGGU terakhir, “guru besar/profesor”, jabatan fungsional akademik tertinggi menjadi trending topik di lini masa media massa cetak dan elektronik.
Kejadian ini dipicu lima laporan investigasi Harian Kompas (10/02/2023) terkait “dugaan” adanya modus keterlibatan dosen senior, calon guru besar di sejumlah kampus PTN dan PTS dalam praktik perjokian karya ilmiah.
Mereka diduga membentuk tim khusus (Tim Percepatan Guru Besar) yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi untuk memenuhi persyaratan usulan menjadi profesor.
Juga diungkap “fakta” seorang dosen senior melakukan praktik non-etik dengan mengklaim sebagai penulis artikel yang diterbitkan pada sebuah jurnal internasional, yang berasal dari skripsi mahasiswa bimbingannya.
Terakhir, Kompas juga mengungkap banyak dosen yang tertipu dan terjebak dalam permainan sindikasi jurnal internasional abal-abal (Kompas, 10/02/2023);
Pada saat yang berbarengan, publik juga dikejutkan dengan berita ratusan guru besar dan dosen maju menjadi “sahabat pengadilan (amicus curiae) untuk Richard Eliezer (Kompas, 09/02/2023).
Disusul kemudian dengan berita penolakan pemberian gelar profesor kehormatan (Honorary Professor) kepada individu non-akademik termasuk pejabat publik (Tempo.co, 16/02/2023) yang ditandatangani oleh 353 dosen termasuk para profesor dari 14 fakultas di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tanpa bermaksud apologis, laporan investigasi Kompas tersebut perlu penjelasan yang berimbang. Jika tidak, dikhawatirkan publik menggeneralisasinya dan menisbatkan kepada seluruh dosen calon guru besar.
Selanjutnya, ini juga akan memunculkan “stigmasi” yang sangat merugikan dan memojokkan. Tidak hanya bagi para calon guru besar, tetapi juga bagi institusi perguruan tinggi secara keseluruhan, yang dikenal sebagai penjaga tradisi dan etika akademik.
Tak ada yang menyangkal, bahwa seorang dosen yang ingin meraih jabatan akademik guru besar atau profesor bukan hal mudah, tetapi juga bukan hal yang tidak bisa diikhtiarkan.
Mereka harus berjibaku untuk memenuhi seluruh persyaratan regular dan khusus/tambahan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang; Permen; dan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO-PAK) untuk kenaikan jabatan akademik dosen.
Secara umum, syarat yang harus dipenuhi untuk usulan guru besar meliputi pelaksanaan pendidikan (> 35 persen); penelitian (>45 persen); pengabdian kepada masyarakat (0,50 dan < 10 persen); dan penunjang (< 10 persen).
Besaran angka kredit yang dibutuhkan tergantung pada jumlah angka kredit pada jabatan fungsional awal, yaitu Lektor (200—300 AK) atau Lektor Kepala (400—700 AK) dan jenjang kepangkatan guru besar yang diusulkan, yaitu Pembina Utama Madya (850 AK) atau Pembina Utama (1.050 AK) (Kemdikbud, 2023).
Syarat terberat yang harus dipenuhi untuk usulan guru besar adalah publikasi artikel pada Jurnal Internasional “Bereputasi” (JIB).
Dalam hal ini ada dua tafsir JIB, yaitu dari PO-PAK 2019 dan Panduan IKU-PTN 2021. Pada kedua dokumen tersebut, JIB dimaknai jurnal internasional yang memenuhi persyaratan berikut.