JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengungkapkan, terdapat gejala keberadaan undang-undang yang seolah memecahkan akar masalah tetapi justru melegalkan praktik korup dan tidak demokratis.
Bivitri mengatakan, persoalan tersebut ia tuangkan dalam artikel bertema autocratic legalism yang terbit di Harian Kompas dengan judul "Otoritarianisme Berbungkus Hukum".
Hal ini disampaikan Bivitri saat menyoroti indikator world justice project-rule of law, salah satu indikator dalam mengukur indeks persepsi korupsi (IKP) atau corruption perceptions index (CPI) suatu negara.
Indikator ini menyoroti pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi, dan militer menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 Merosot 4 Poin Jadi 34
“Jadi segala sesuatu yang diberi landasan hukum itu seakan-akan punya legitimasi. Jadi berangkatnya dari legalisme,” kata Bivitri dalam konferensi pers Peluncuran CPI di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Sebagai informasi, CPI mengukur persepsi korupsi di sektor publik.
CPI dirilis oleh Transparency International (TI) dengan mengurutkan 180 negara tingkat korupsi di dunia. Negara dengan skor 0 berarti sangat rawan korupsi sementara 100 bebas korupsi.
Menurut Bivitri, saat ini terdapat orang-orang yang sadar atau memahami hukum dan mengetahui celahnya untuk kepentingan pribadi.
Baca juga: Skor Indeks Persepsi Korupsi Anjlok, Demokrasi Indonesia dalam Masalah Serius
Dalam persoalan autocratic legalism ini, ia menyoroti bagaimana pembatasan kekuasaan yang justru dipangkas habis.
“Sehingga disebut autocratic, itu lawan dari demokratik,” ujarnya.
Bivitri mengatakan, setidaknya terdapat empat pengawasan yang digembosi yakni, pelemahan DPR dan pelemahan masyarakat sipil.
Kemudian, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Revisi Undang-Undang KPK Tahun 2019 dan serangan terhadap independensi kekuasaan kehakiman.
Baca juga: 2022, Indonesia Semakin Dekat ke Otoritarianisme Digital
Menurut Bivitri, penyerangan kekuasaan kehakiman terjadi pada akhir tahun 2022, saat seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dicopot karena keputusannya dianggap tidak menyenangkan para pembuat undang-undang.
“Empat hal yang dibunuh, empat cara untuk mengawasi kecenderungan kekuasaan yang berlebih-lebihan,” kata Bivitri.
“Repotnya adalah semuanya dilakukan atas nama hukum dalam bentuk produk hukum, sehingga seakan akan baik-baik saja,” ujarnya melanjutkan.