SAAT saya mengikuti perkuliahan di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ada satu mata kuliah yang menjadi momok banyak mahasiswa di era 1985 - 1988.
Nama mata kuliahnya, Kimia Fisika. Kimia saja sudah bikin bingung, tambah lagi dengan Fisika yang rumit. Alhasil, saya gagal lulus dan mengulang lagi.
Di perpolitikan nasional, ternyata ada lagi yang lebih rumit bahkan mampu mengalahkan peliknya memececahkan soal hitung-hitungan di mata kuliah Kimia Fisika. Namanya koalisi.
Rukun dan kompak saat awal mendeklarasikan pembentukkan gabungan partai-partai agar bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Namun siapa nyana, ketika proses penentuan sosok capres dan cawapres, koalisi bisa terancam “bubar jalan”.
Hanya gara-gara tidak ada yang mau ngalah dan merasa paling hebat, potensi kemenangan koalisi bisa terancam bubar.
Seperti semacam rapor di sekolah atau nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saat perkuliahan, terkadang point elektabilitas calon menjadi mantera “jualan” untuk meninggikan posisi tawar.
Elektabilitas rendah kerap dianggap “pasti kalah” atau tidak laku di pasar politik. Kurang populer dinilai lemah dan payah “bermain” di pencitraan media, terutama media sosial.
Siapa yang menyangka, saat mau maju di Pilkada DKI Jakarta di 2012 silam, elektabilitas Joko Widodo dianggap “papan bawah” ketimbang petahana Fauzi Bowo.
Modal menjadi Wali Kota Solo, belum dianggap setara melawan Gubernur DKI. Belum lagi panen dukungan dari banyak partai di kubu Fauzi Bowo, melawan gabungan partai oposisi kala itu di pihak Jokowi.
Politik itu kerap absurd, tidak masuk akal dan susah diprediksikan. Logika berpikir dan alur rasionalitas, kerap “dijungkir-balikkan” dalam perpolitikan.
Calon yang diramal menang – baik melalui parameter ilmiah seperti survei dan penerawangan dukun – kerap terbalik hasilnya.
Jelang Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, gabungan partai-partai melakukan “grouping” agar kecukupan suara bisa terpenuhi untuk mengusung pasangan capres-cawapres.
Berbeda dengan PDIP yang bisa maju dan mencalonkan sendiri pasangan capres-cawapres tanpa berkoalisi dengan partai-partai lain.
Di awal, Nasdem dengan “gagah berani” mencalonkan bekas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres bersama dua partai lainnya Demokrat dan PKS.
Anies adalah salah satu magnet capres dengan elektabilitas yang menjanjikan. Pengalamannya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang berhasil mengalahkan Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama di Pilkada DKI 2018 dianggap sebagai modal penting untuk palagan perikutnya di Pilpres 2024.
Jika ditelusuri sosok yang pantas menjadi “pengantin” Anies di Koalisi Perubahan tentu adalah sosok yang disodorkan PKS, Ahmad Heryawan.
Gubernur Jawa Barat dua periode yang lebih dikenal dengan nama Aher, memiliki pengalaman kepala daerah di daerah yang luas dengan penduduk yang besar, Jawa Barat.
Namun, kengototan kubu Demokrat yang berdasar point elektabiltas dan porsi kursi Demokrat di parlemen yang lebih besar maka sosok Agus Harimurti Yudhoyono yang lebih pantas mendampingi Anies Baswedan.
Hingga kini arah Koalisi Perubahan masih belum jelas dan tim kecil yang ditugasi melakukan harmonisasi di antara tiga partai masih jalan di tempat.
Anies yang diminta mencari calon pendamping pun, masih lebih sibuk melakukan roadshow ke berbagai daerah.