JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak memahami langkah keluarga Gubernur Papua Lukas Enembe yang mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Adapun keluarga Lukas mengadukan Ketua KPK Firli Bahuri dan wakilnya, juru bicara, serta 15 penyidik ke Komnas HAM karena dinilai mengabaikan hak Lukas untuk mendapatkan hak kesehatan.
Baca juga: Pengacara Minta Komnas HAM Rekomendasikan KPK Hentikan Penyidikan Lukas Enembe
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri menegaskan, seluruh proses penanganan perkara Lukas Enembe dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
“Kami tidak paham apa yang disampaikan oleh pihak keluarga dan penasihat hukumnya terkait hal dimaksud, melanggar HAM-nya di mana?” ujar Ali saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (19/1/2023).
Menurut Ali, KPK justru menjunjung tinggi HAM, asas praduga tak bersalah, hak Lukas Enembe sebagai tersangka, dan hak kesehatannya.
Dia menambahkan, dalam proses pemeriksaan, KPK juga telah mengantongi dokumen yang menyatakan Lukas fit to stand trial. “Artinya, bisa dilakukan pemeriksaan sampai ke persidangan,” tutur Ali.
Ali juga menepis tudingan bahwa KPK tidak memberikan layanan kesehatan yang memadai kepada Lukas.
Baca juga: Istri Lukas Enembe Bungkam Saat Ditanya Dugaan Aliran Dana ke OPM
Dia menerangkan, standar pelayanan kesehatan merupakan wewenang dan keahlian tim medis. Karena itu, ketika Lukas tiba di Jakarta setelah ditangkap pekan lalu langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
“Kami berikan pelayanan perawatan sewajarnya sebagaimana KPK memperlakukan tersangka lainnya. Hak-haknya sudah kami penuhi semua,” ujar Lukas.
Sebelumnya, keluarga Lukas mendatangi kantor Komnas HAM. Mereka mengatakan, Lukas tidak mendapatkan layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan di tahanan.
Mereka mengadukan Ketua KPK Firli Bahuri, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Direktur Penyidikan Asep Guntur Rahayu, Juru Bicara KPK Ali Fikri, dan 15 penyidik atas dugaan pelanggaran HAM karena menilai Lukas tidak mendapatkan hak kesehatan.
Adapun Lukas telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi pada September 2022.
Ia diduga menerima suap dari Direktur PT Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka, sebesar Rp 1 miliar untuk memilih perusahaan konstruksi itu sebagai pemenang lelang tiga proyek multiyears di Papua.
Baca juga: Istri dan Anak Lukas Datangi KPK, Jalani Pemeriksaan sebagai Saksi
Selain itu, Lukas juga diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 50 miliar terkait dengan jabatannya sebagai gubernur.
KPK kesulitan memeriksa Lukas karena ia tidak bersikap kooperatif. Lukas mengaku sakit. Sementara itu, simpatisannya menjaga rumahnya dengan senjata tradisional.