SEJAUH ini memang kata-kata tetap memiliki tempat tersendiri dalam perhatian publik. Dengan menggunakan kata-kata, seorang politisi dapat mengomunikasikan ide-ide dan gagasan politiknya. Namun apapun yang berlebihan itu tidak baik.
Janji manis dalam percaturan politik adalah buah dari penggunaan kata-kata secara berlebihan. Publik hanya diberikan “kasih sayang” palsu untuk kepentingan semata seorang politisi.
Publik dikecoki dengan berbagai janji politik yang membuat tertarik untuk dipilih, padahal janji itu tidak sepenuhnya diwujudkan.
Misalkan tindakan Love Bombing yang merupakan perilaku verbal berlebihan untuk mendapat perhatian pasangan, padahal ada maksud tersembunyi dari pujian-pujian itu.
Begitu juga dengan janji politisi ketika mendekati pemilu terdengar sangat manis dan mengesankan, tetapi janji itu hanyalah alat untuk memberikan kesenangan sesaat kepada publik.
Ada adagium hukum, Facta Sunt Potentiora Verbis, artinya fakta lebih kuat dari pada kata-kata. Fakta merupakan visualisasi dari cara berpikir seseorang.
Fakta tidak bisa dipungkiri, meskipun dalam beberapa kasus fakta terkadang bisa didesain untuk kepentingan tertentu. Namun, sebenarnya esensi dari fakta adalah kemurnian dan kedalaman.
Begitu juga dalam konteks politik, sejatinya fakta politik merupakan keadaan real time dari fenomena politik. Apa lagi hari ini memungkinkan fenomena politik terekam dan tersimpan dengan baik. Pada saat tertentu bisa digunakan sebagai senjata untuk memangkas lawan politik.
Politik era modern sebenarnya ingin merumuskan ulang budaya politik. Jika dulu fenomena politik bisa dengan mudah dikendalikan oleh politisi, saat ini sulit dilakukan karena publik memiliki filternya sendiri dengan berbagai media. Walaupun argumentasi untuk meyakinkan sikap politiknya masih cenderung gagap.
Politik Nasional kita sebenarnya menampilkan dualisme cara berpikir. Cara berpikir pertama mengutamakan kata-kata sebagai kue manis menarik simpati.
Cara berpikir kedua, menggunakan fakta sebagai basis kekuatan untuk memenangkan kontestasi politik.
Ketiga, berupaya menggabungkan antara fakta dan kata-kata. Metode berpikir ini sering dipertontonkan melalu media elektronik atau dalam percakapan langsung antara politikus dan publik. Urgensinya tentu terletak kepada publik untuk memberikan keputusan politiknya.
Apakah setuju dengan politikus berbasis kata-kata atau sepakat kepada politikus berbasis fakta? Semua itu tergantung kepada fragmentasi pemilih yang notabenenya sangat variatif.
Begitu pula dengan argumentasi yang dibangun sangat bervariasi tergantung pada tokoh atau partai apa yang sedang didukung.
Semenjak piagam Magna Charta, demokrasi tidak sekadar kata atau janji manis. Harus ada ikatan atau janji real antara penguasa dan yang dikuasai.