JUDICIAL review atau uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika judicial review yang teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 itu dikabulkan MK, maka sistem pemilu pada 2024 akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup akan membuat para pemilih hanya melihat logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pemilihan legislatif (pileg).
Sementara dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun calon anggota legislatif yang diinginkannya. Sistem proporsional terbuka mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.
Sebelumnya, sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Kemudian, dengan sejumlah argumentasi untuk menyempurnakan sistem demokrasi, para pengambil kebijakan memutuskan untuk menggunakan sistem proporsional terbuka yang kemudian kita gunakan hingga saat ini.
Baca juga: Alasan Mengapa Harus Tetap Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Akan tetapi, pada pertengahan November 2022, seorang kader PDIP, satu kader Nasdem, dan empat warga sipil lainnya menggugat pasal terkait sistem pemilihan caleg dalam UU Pemilu itu ke MK. Mereka meminta MK menyatakan penerapan sistem proporsional terbuka adalah inkonstitusional dan memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup.
Gugatan itu masih berproses di MK. Gugatan tersebut menjadi isu panas setelah Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, mengomentarinya pada 29 Desember lalu. Hasyim mengatakan, ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut sehingga sistem pemilihan umum kembali ke proporsional tertutup.
Pernyataan Hasyim itu ramai-ramai dikritik. Sejumlah anggota DPR, pimpinan komisi DPR, pejabat teras partai politik, hingga pemerhati pemilu menyatakan bahwa penggunaan sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Mereka juga mempertanyakan kapasitas Hasyim mengomentari sistem pemilihan caleg karena bukan domainnya.
Setelah dikritik bertubi-tubi, Hasyim menyampaikan klarifikasi. Dia menegaskan pernyataannya sebelumnya bukan mengarahkan keputusan MK. Dia hanya meminta para bakal caleg untuk tidak memajang alat peraga kampanye terlebih dahulu karena bakal tidak ada gunanya jika nanti MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup.
Namun terlepas dari itu, wacana terkait apa yang terbaik antara sistem proporsional tertutup atau terbuka, sudah bergulir menjadi perdebatan yang panas mulai dari elite, kelas menengah, hingga akar rumput.
Untuk itu, ada beberapa poin yang perlu dipahami dalam pro-kontra sistem pelaksanaan pemilu ini.
Pertama, benar bahwa sistem proporsional terbuka yang kita gunakan sekarang adalah bentuk penyempurnaan dari sistem proporsional tertutup yang digunakan sebelumnya. Perdebatan terkait ini sebelumnya pernah dibahas dalam diskusi Sekretariat Bersama (Sekber) Kodifikasi UU Pemilu, di Jakarta pada 31 Juli 2016.
Dalam diskusi tersebut, Sekber mendorong tetap dipertahankannya sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2019, dengan 10 alasan. Salah satunya adalah, sistem proporsional tersebut dapat meningkatkan keterkaitan hubungan antara caleg dengan pemilih.
Baca juga: Jadi Perdebatan, Apa Beda Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup?
Dalam sistem proporsional terbuka pemilih dapat langsung memilih caleg sesuai dengan yang diinginkannya tanpa ditentukan dengan partai politik. Artinya hubungan antara caleg dan pemilih akan semaik erat. Adapun dalam sistem proporsional tertutup, hubungan antar caleg dan konstituennya akan berjarak, karena yang menjadi mesin utama peraih suara adalah mesin partai secara kumulatif.
Alih-alih, sistem proporsional tertutup akan menyuburkan oligarki di dalam partai politik.
Kedua, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini adalah amanat dari putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dikelurkan pada 23 Desember 2008, yang isinya mempertahankan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017.