JAKARTA, KOMPAS.com - Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sepakat isu penundaan pemilihan umum (pemilu) tak relevan untuk terus dibicarakan.
Keduanya sama-sama mengungkit hal ini setelah masing-masing ormas menerima kunjungan jajaran komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
KPU RI lebih dulu menyambangi kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pada Selasa (3/1/2023), sebelum sowan ke kantor Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pada Rabu (4/1/2023).
Sebelumnya, isu ini kembali mengemuka gara-gara sejumlah partai tak lolos pendaftaran dan verifikasi calon peserta Pemilu 2024. Kemudian, mereka menunggangi isu dugaan kecurangan KPU untuk mengusulkan penghentian tahapan pemilu yang sudah berlangsung sejak 14 Juni 2022.
Baca juga: Muhammadiyah-NU Sepakat Elite Politik Harus Jauhi Sentimen Keagamaan di Pemilu 2024
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir bahkan menjadikan isu ini sebagai pernyataan perdana ketika menyambut jajaran komisioner KPU RI.
"Salaman artinya pemilu jadi, tidak ditunda, tidak ditambah," kata Haedar Nashir di hadapan awak media, Selasa siang, saat bersalaman dengan Hasyim.
Haedar menambahkan, penyelenggaraan pemilu pada 14 Februari 2024 sudah menjadi kesepakatan bersama pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.
"Menurut Sekum (Sekretaris Umum) Muhammadiyah (Abdul Mukti), Pemilu 14 Februari 2024 itu harga mati," ujar Haedar.
"KPU menjamin berdasarkan konstitusi juga di mana dalam pandangan KPU tadi, pemilu selain luber dan jurdil, juga dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Itu sudah (ketentuan) UUD 1945. Artinya selesai dan tidak perlu lagi ada wacana atau opini-opini," katanya lagi.
Baca juga: Terima Kunjungan KPU, Muhammadiyah: Artinya Pemilu Jadi, Tidak Ditunda
Sementara itu, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mempertanyakan alasan di balik wacana penundaan pemilu.
Ia bahkan menggunakan perbandingan saat Indonesia dihantam pandemi Covid-19 yang amat gawat pada 2020, pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak tetap dipaksakan berlangsung.
"Dulu itu ketika kita kena pandemi, dengan situasi yang sangat menegangkan, bukan hanya secara domestik tapi juga global, ya mungkin cukup alasan untuk berpikir bagaimana nasib jadwal pemilu," ujar Yahya, Rabu.
"Tapi, dalam keadaan sekarang ini, bicara soal perubahan jadwal, penundaan, dan sebagainya, itu alasannya apa?" katanya lagi.
Yahya menegaskan bahwa wacana ini hanya bisa digulirkan seandainya ada alasan yang sangat kuat, argumen-argumen yang sungguh melegitimasi kemungkinan ditundanya pemilu.
"Kalau tidak legitimate, untuk apa?" kata juru bicara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid itu.
Baca juga: Tak Larang Politikus Sowan ke Pesantren, Gus Yahya: Pokoknya Jangan Bawa Nama NU