JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyayangkan langkah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memberikan pangkat letnan kolonel (letkol) tituler TNI ke presenter Deddy Corbuzier.
Penyematan pangkat tersebut dinilai tidak urgen. Menurutnya, kegiatan bela negara tak harus diwujudkan dengan melibatkan seseorang bagian dari komponen utama pertahanan dan keamanan.
"Menjadikan Deddy sebagai bagian dari komponen utama, walaupun bersifat sementara melalui pemberian pangkat tituler, jelas tidak memiliki urgensi," kata Fahmi kepada Kompas.com, Kamis (15/12/2022).
Baca juga: Soal Urgensi Deddy Corbuzier Dapat Pangkat Letkol Tituler, Mahfud: Pak Prabowo Lebih Tahu
Fahmi mengaku sepakat bahwa Deddy Corbuzier piawai dalam mengelola ruang digital sebagai sarana pembentukan dan penggalangan opini publik.
Dia juga mendukung pemerintah untuk menyiapkan program-program terkait pembinaan kesadaran bela negara yang berkarakter kekinian, visioner, lebih segar, menarik, dan substansial.
Namun, menurut Fahmi, adanya kesenjangan dan keterbatasan kemampuan prajurit TNI dalam mengelola ruang digital tidak serta-merta dapat menjadi alasan pemberian pangkat tituler ke Deddy.
Penyematan pangkat tersebut dinilai mengabaikan semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Baca juga: Polemik Pangkat Letkol Tituler Deddy Corbuzier, Yudo Margono: Boleh Diberikan untuk Kemajuan TNI
Seharusnya, jika nilai-nilai dalam UU tersebut diamalkan, pelibatan dan kontribusi Deddy dapat difasilitasi tanpa harus menjadikan dia bagian dari komponen utama pertahanan dan keamanan negara.
"Antara lain melalui pengabdian sesuai profesi, di mana pemerintah memiliki kewajiban untuk membinanya," ujar Fahmi.
Pemberian pangkat tituler tersebut juga dipandang inkonsisten dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha bela negara. Norma ini mengandung makna inklusivitas dan mengedepankan kesukarelaan.
"Militer bukanlah satu-satunya jalur untuk bisa berpartisipasi dan berperan secara optimal dalam narasi kebangsaan maupun bela negara," kata Fahmi.
Fahmi mengatakan, hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara. Upaya pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum dan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
Dia menegaskan, penyelenggaraan pertahanan negara tidak bertumpu pada kekuatan militer semata, melainkan juga pada kekuatan nonmiliter.
"Peran dan kontribusi Deddy Corbuzier sebagaimana penjelasan Kemenhan masih dimungkinkan untuk berada dalam ruang lingkup nonmiliter," katanya.
Menurut Fahmi, negara tak boleh abai pada kekhawatiran publik bahwa nuansa militerisme bangsa ini akan semakin besar ke depan.