MENJELANG Pemilu 2024, para elite politik mulai turun ke daerah-daerah. Sekadar mendampingi elite Nasional yang didukung atau kunjungan kerja dengan propaganda kampanye.
Bagi politisi, semua agenda bisa dilakukan secara bersamaan. Fasilitas yang digunakan bisa saja milik partai, pribadi, atau pemerintah.
Sulit ditemukan elite Nasional datang ke daerah tanpa ada penyambutan. Artinya perlu ada fasilitas terbaik untuk menyambut “tuan” dari ibu kota.
Anggarannya tidak sedikit untuk melayani tuan dan puan politisi yang hanya sekadar datang untuk menarik simpati rakyat. Bagai raja, elite diarak dengan kemewahan dan hingar-bingar.
Fakta ini sudah dari dulu terjadi ketika kita memilih demokrasi sebagai kendaraan menuju kesejahteraan.
Tidak hanya itu, kebudayaan kita menjadi salah satu kontributor dalam memuluskan proyek demokrasi liberal yang mahal dan penuh formalitas.
Kampanye dialogis sering diutarakan elite untuk menarik simpati ketika memasuki tahun-tahun pemilu. Praktik komunikasi politik itu terkadang dimulai dari sikap kritis terhadap pemerintahan saat ini.
Data dan bicara merupakan jalan untuk meyakinkan rakyat akan pilihan politiknya, baik itu kepada partai atau kepada tokoh.
Biasanya kampanye politik menjadi ajang untuk menggiring opini dan sikap rakyat. Mudah tergiringnya rakyat disebabkan kecenderungan rendahnya kemampuan filterisasi terhadap argumen politik para elite.
Sehingga masyarakat daerah menjadi santapan empuk elite partai untuk mendapatkan basis massa dengan tingkat fanatisme yang tinggi.
Gagasan elite Nasional menjadi kebenaran mutlak yang sulit dibantah. Apa lagi tokoh-tokoh lokal menjadi aktor suruhan untuk memanipulasi komunikasi. Perilaku ini berguna untuk mencari simpati publik dan di satu sisi menyenangkan “tuannya” dari Jakarta.
Pertaruhan daerah sebagai basis dukungan tidak main-main di level akar rumput. Saling senggol menjadi tragedi sehari-hari dalam politik transaksional kita.
Fanatisme berlebihan bertumbuh secara cepat melalui proses demokrasi liberal tanpa filter kritis dan kedewasaan dalam memaknai esensi politik. Politik hanya dipandang sebagai tragedi gelap setiap lima tahun sekali.
Uang dan kekuasaan menjadi orientasi utama untuk mendapatkan kemenangan. Pemilu akhirnya menjadi ajang kompetisi harta dan tahta. Bukan dijadikan ruang partisipasi gagasan dan ide yang layak untuk disuarakan.
Partisipasi politik hanya diperlakukan untuk menyenangkan dan mengutamakan suara partai. Independensi aktor politik akhirnya diseret kejurang keserakahan partai yang berusaha hidup di tengah ketidakpuasan rakyat terhadap partai itu sendiri.