JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Albert Aries menyatakan, RKUHP telah mengakomodir kebebasan berekspresi masyarakat. Namun, hal itu juga diimbangi dengan aturan agar kebebasan tersebut dilakukan secara bertanggung jawab.
“Keseimbangan itu sekaligus memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berdemokrasi dan juga ruang privat masyarakat,” ujar Albert pada Kompas.com, Selasa (6/12/2022).
“Meski demikian, kebebasan tersebut juga diwujudkan secara bertanggung jawab, menghormati nilai-nilai keindonesiaan, dan juga menghormati hak asasi orang lain,” paparnya.
Baca juga: RKUHP Disahkan, Pemerintah: Keputusan yang Diambil adalah Jalan Tengah
Adapun RKUHP telah resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR hari ini.
Albert mengungkapkan, proses pembuatan kitab hukum pidana itu tak mudah karena mesti mengakomodir kepentingan banyak pihak. Apalagi, KUHP yang berlaku saat ini adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan berlaku sejak 1918.
“Menyusun RKUHP di negeri yang multi-etnis, multi-religi, dan multi-kultural, memang bukan pekerjaan yang mudah, sehingga keputusan akhir yang diambil oleh tim perumus RKUHP merupakan jalan tengah untuk merajut kebhinekaan Indonesia,” terangnya.
Ia mengatakan, salah satu semangat perumusan RKUHP adalah kebutuhan pembaruan hukum di Indonesia. Sebab, KUHP yang dulu dinilai memiliki asas legalitas yang kaku.
Pembaruan dalam RKUHP itu dilakukan dengan pendekatan sistem pemidanaan modern yang mengusung keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.
“Untuk mengatasi kekakuan hukum itu, RKUHP mengatur pembaruan hukum antara lain alternatif sanksi pidana selain penjara yaitu pidana denda, kerja sosial, dan pengawasan,” ujarnya.
Baca juga: Dasco Jelaskan soal Adu Mulut Saat Pengesahan RKUHP: Bukan Beri Catatan, Malah Minta Cabut Pasal
Diketahui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengungkapkan, pembuatan RKUHP telah dimulai sejak tahun 1963. Maka dari itu, ia menampik anggapan jika pengesahannya terbilang buru-buru.
"Apa 59 tahun itu terjawab terburu-buru? Kalau dikatakan banyak penolakan, berapa banyak, substansinya apa, datang dengan cepat pada kami, kami sudah siap dan kami yakin betul ini diuji ditolak," kata Yasonna dalam jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa.
Dalam rapat paripurna, Yasonna mengungkapkan salah satu perubahan signifikan KUHP saat ini dengan RKUHP adalah hukuman mati yang dikeluarkan dari pidana pokok.
Dalam RKUHP yang disahkan, pidana mati telah dikategorikan sebagai pidana khusus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.