JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dari Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto menegaskan urgensi reformasi di lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Timur IX ini menilai, reformasi di tubuh Polri krusial dilakukan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat seiring rentetan kasus yang menjerat nama institusi tersebut selama beberapa waktu terakhir.
Seperti diketahui, tak sedikit kasus besar yang melibatkan anggota kepolisian. Beberapa di antaranya adalah kasus Ferdy Sambo, Tragedi Kanjuruhan, dan sangkaan keterlibatan Inspektur Jenderal Teddy Minahasa dalam kasus narkotika, psikotropika, dan obat-obatan terlarang (narkoba).
"Ada tiga poin besar reformasi Polri, yaitu struktural, instrumen, dan kultural," ujar Didik kepada Kompas.com saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (25/11/2022).
Baca juga: Jokowi Dinilai Perlu Buat Panduan Percepatan Reformasi Polri untuk Kikis Kultur Militeristik
Terhitung sudah 22 tahun reformasi Kepolisian RI berjalan. Namun, masih ada satu ganjalan, yaitu belum optimalnya reformasi kultural. Gebrakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dalam menindak polisi-polisi bermasalah akan jadi momentum penting dalam mewujudkan reformasi kultural.
Sebagai informasi, reformasi Polri dimulai sejak disapihnya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR Nomor VII/2000 tentang Peran Polri dan TNI sampai terbentuknya Undang-undang (UU) terkait, yakni UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri.
Didik menjelaskan, reformasi struktural terkait positioning tata kelola kelembagaan telah diwujudkan sejak Polri terpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 2002.
Demikian pula reformasi instrumen, lanjut Didik, Polri sudah memiliki sejumlah kebijakan yang menjadi dasar untuk menjalankan fungsi dan kewenangannya.
Baca juga: Kapolri Sebut Tjahjo Kumolo Sosok Penting dalam Perbaikan Reformasi Polri
Adapun UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri menjadi basis dalam memperkuat eksistensi dan peran Polri sebagai manifestasi dari tugas-tugas keamanan domestik dengan menggunakan pendekatan atau konsep polisi sipil.
Sebagai tindak lanjut atas instrumen tersebut, imbuh Didik, Kapolri menyusun sejumlah instrumen dalam bentuk Peraturan Kapolri (Perkap).
Didik menilai, seluruh peraturan Polri tersebut sudah sangat detail, mulai dari aturan bahwa Polri tidak boleh bergaya hidup mewah hingga soal prosedur penyidikan.
"Saya melihat instrumen tersebut sudah bagus. Sayangnya, problem (tak terbatas) di reformasi kultural. Dalam hal ini, polisi harus menjadi lebih humanis, tidak represif, mencerminkan sebagai penegak hukum yang bersih, bebas dari segala tindak korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan, termasuk lepas dari praktik KKN dalam tahapan rekrutmen ataupun mutasi," terang Didik.
Baca juga: Kapolri Akui Program Reformasi Polri Belum Dipahami Merata hingga Polres-Polsek
Meski begitu, imbuh Didik, fakta di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan yang dilakukan sejumlah oknum anggota kepolisian. Pelanggaran atas instrumen tersebut justru dipraktikkan oleh oknum Polri yang tak berintegritas.
"Belakangan ini muncul penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oknum Polisi. Hal ini justru semakin menjauhkan harapan seluruh masyarakat mengenai terwujudnya reformasi kultural di tubuh Polri," kata Didik.
Itu artinya, lanjut Didik, reformasi kultural di tubuh Polri masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan segera.